Ada beberapa catatan yang perlu dipertimbangkan Pemerintah terkait kebijakan PPN 12 persen.
Merujuk pada studi yang dilakukan oleh Qibthiyyah (2018) berjudul "The Relationship of VAT Rate and Revenues in the Case of Informality", ada hubungan berbentuk U-terbalik antara tarif PPN dan penerimaan pajak. Artinya, menaikkan tarif PPN hingga titik tertentu akan meningkatkan penerimaan, tetapi jika tarif terlalu tinggi, penerimaan justru menurun karena aktivitas ekonomi bisa terganggu. Ini sesuai dengan Teori Kurva Laffer.
Bila tujuan Pemerintah menaikkan tarif PPN adalah meningkatkan kinerja penerimaan, temuan studi itu bisa menjadi bahan pertimbangan.
Di sisi lain, studi itu juga menyoroti bahwa informalitas lapangan kerja menjadi tantangan Pemerintah dalam menyerap PPN. Pekerjaan informal umumnya melibatkan aktivitas ekonomi di luar sistem pajak formal sehingga transaksi tidak tercatat. Makin banyaknya aktivitas yang lolos dari PPN, maka kian sedikit penerimaan PPN yang bisa terserap.
LPEM UI pun menyoroti kenaikan PPN berpotensi meningkatkan penghindaran pajak, terutama di sektor yang pengawasannya minim. Maka dari itu, baik LPEM UI maupun Qibthiyyah mengusulkan mengurangi informalitas dan meningkatkan kapasitas administrasi melalui reformasi pajak menjadi cara yang lebih efektif untuk menguatkan fiskal negara.
Usulan lain juga datang dari Bhima. Menurutnya, perluasan objek pajak lebih efisien untuk meningkatkan rasio pajak, alih-alih melakukan penyesuaian tarif. Berdasarkan perhitungannya, Pemerintah punya potensi penerimaan Rp86 triliun per tahun dari pajak kekayaan (wealth tax). Pajak anomali keuntungan komoditas (windfall profit tax) dan penerapan pajak karbon pun juga bisa menjadi alternatif untuk kebijakan perpajakan.
Meski banyak tantangan, manfaat dari kenaikan tarif PPN juga tak bisa diabaikan. LPEM UI merinci manfaat dari peningkatan tarif PPN termasuk mengurangi ketergantungan negara terhadap pinjaman, kesempatan menurunkan beban utang, serta menyelaraskan kinerja pajak Indonesia dengan negara lain, mengingat tarif PPN Indonesia masih di bawah rata-rata tarif PPN global yang sebesar 15 persen.
Bila nantinya PPN 12 persen tetap diimplementasikan, Pemerintah perlu menyusun kebijakan yang dapat mengimbangi efek kenaikan tarif agar stabilitas ekonomi tetap terjaga. Pemerintah pun harus memastikan masyarakat mendapat timbal balik yang sepadan dengan yang mereka bayar.
Sebagai contoh, Pemerintah bisa menambah insentif, seperti subsidi kredit usaha atau pengurangan pajak. Cara ini, menurut Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede, dapat membantu pelaku usaha menyesuaikan diri dengan peningkatan beban pajak sehingga bisa mendukung daya saing UMKM dan mencegah penurunan produktivitas akibat biaya tambahan.
Ihwal informalitas lapangan kerja, Pemerintah perlu menggeser porsi pekerja informal dan formal. Dukungan terhadap serapan pekerjaan formal dan keberpihakan terhadap upah layak bisa membuat masyarakat memiliki modal yang memadai untuk berbelanja. Hasil Susenas menunjukkan bahwa menjaga tingkat kelas ekonomi masyarakat krusial untuk menjaga kesehatan perputaran ekonomi.
Selain itu, ketika tarif pajak naik, maka Pemerintah mempunyai anggaran yang lebih banyak untuk mendanai layanan penting, seperti kesehatan, pendidikan, hingga infrastruktur. Kebijakan di tiga sektor prioritas ini perlu dipastikan kualitas penerapannya agar masyarakat benar-benar merasakan manfaatnya.
Artinya, ketika Pemerintah meningkatkan tarif pajak, hal ini juga harus dibarengi dengan peningkatan taraf hidup masyarakat.
Oleh karena itu, evaluasi penting dari diskursus kebijakan PPN 12 persen itu bukan tentang mana yang lebih didahulukan, melainkan menemukan cara bagaimana kesehatan APBN dapat tetap dijaga sekaligus kesejahteraan rakyat Indonesia tetap terlindungi.
Editor: Achmad Zaenal M
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024