Jakarta (ANTARA News) - Bank Indonesia memperkirakan target pertumbuhan kredit perbankan nasional pada tahun 2006 sekitar 18 hingga 20 persen tidak akan tercapai meski ada peningkatan kredit sejak Agustus lalu.
"Sampai saat ini kredit sudah ada Rp40 triliun lebih tetapi dengan hitungan sejak Januari-September pertumbuhannya masih enam sampai tujuh persen, jadi kalau kita lihat untuk mencapai 15 persen pun pada akhir tahun masih cukup jauh," kata Deputi Gubenur BI Hartadi A. Sarwono, di Jakarta, Rabu.
Menurut Hartadi, sejak Agustus hingga Oktober, pertumbuhan kredit perbankan terus meningkat dan diperkirakan akan terus naik hingga tahun depan.
Pada Agustus penambahan kredit mencapai Rp10,7 triliun sedangkan September Rp15,4 triliun atau jauh meningkat dibanding Juli yang hanya Rp1,0 triliun.
"Situasi sudah mulai berubah sejak turunnya suku bunga BI. Jumlah kredit perbankan akan mulai naik sampai dengan tahun depan," katanya.
Meski pertumbuhan kredit perbankan kecil, Hartadi melihat pembiayaan dari luar sektor perbankan seperti dari pasar modal dan penerbitan obligasi valas terus meningkat.
Dari sektor pasar modal, katanya, sampai triwulan ketiga pembiayaan yang terkumpul mencapai Rp21,3 triliun yang terdiri dari Rp9,5 triliun dari peneribitan obligasi dan Rp12 triliun dari pasar saham.
Sementara pembiayaan dari luar negeri seperti penerbitan obligasi dalam valas sampai triwulan III sudah mencapai 2,3 miliar dolar AS atau sekitar Rp3,0 triliun yang berasal antara lain dari obligasi valas yang diterbitkan Exelcomindo, Lippo Karawaci dan Medco.
"Ini tambahan pembiayaan dari pasar modal selain kredit perbankan dan dengan hal ini menumbuhkan optimisme bahwa ke depan kegiatan ekonomi akan baik khususnya jika suasana tetap stabil seperti sekarang.
Hartadi menambahkan dengan terus menurunnya suku bunga BI dari 12,50 persen menjadi 10,75 persen saat ini sektor usaha diperkirakan akan mulai tumbuh dan biasanya didahului oleh sektor properti.
Bunga
Sementara itu Gubernur BI, Burhanuddin Abdullah, mengatakan, jika kecenderungan penyaluran kredit meningkat terus maka akan memberi rangsangan untuk meningkatkan roda perekonomian.
Burhanuddin mengatakan, hingga semester pertama 2006, pertumbuhan kredit hanya sekitar 3,5 persen. Jika target pertumbuhan kredit selama setahun adalah 20 persen maka seharusnya hingga semester pertama pertumbuhan kredit sekitar sembilan hingga 10 persen.
Namun, kata Burhanuddin, di sisi lain penyerapan anggaran juga rendah pada enam bulan pertama. Ia mengatakan, pada saat penyerapan anggaran cepat maka pertumbuhan kredit juga cukup cepat. "Jadi pikiran kita, sisa waktu (sampai akhir 2006) mestinya perlu percepatan penyerapan anggaran," katanya.
Jika penyerapan anggaran lebih cepat lagi maka pertumbuhan ekonomi yang tinggi bisa dicapai. Asumsi pertumbuhan ekonomi pemerintah adalah 5,8 persen, sementara itu menurut perkiraan BI adalah 5,5 persen.
Namun, Burhanuddin juga mengatakan, kredit hanyalah salah satu dari sumber pembiayaan pembangunan. "Sekarang makin beragam sumber pembiyaan, bukan hanya dari kredit atau dari pemerintah, uang sendiri, pasar modal, tapi juga pembiyaan obligasi dari luar negeri banyak yang menerbitkan," katanya.
Hal itu, katanya, merupakan kondisi yang sehat sehingga pembiyaan tidak hanya bertumpu kepada perbankan.
Pada kesempatan itu, Burhanuddin juga mengatakan ada beberapa faktor yang menyebabkan suku bunga kredit berada pada tingkat yang cukup tinggi.
Ia mengatakan, negara lain yang suku bunga patokannya sama dengan Indonesia mempunyai tingkat suku bunga kredit yang lebih rendah. Saat ini BI rate adalah 10,75 persen, hampir sama dengan Turki, Brasil dan Rusia yang berkisar 10-11 persen.
Namun, katanya, suku bunga kredit negara-negara tersebut bisa mencapai 13-14 persen, sementara itu suku bunga pinjaman Indonesia lebih tinggi. "Jadi margin untuk biaya intermediasi (negara-negara tersebut) cukup `tight` (tipis), cukup efisien," katanya.
Masih tingginya perbedaan suku bunga pinjaman dan simpanan di Indonesia, katanya, antara lain karena persoalan efisiensi, sektor riil yang belum bergulir serta persoalan kredit bermasalah (NPL).(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2006