Panggung megah tempat para politikus beradu gagasan bukan lagi melulu di bawah sorot lampu dan gemuruh tepuk tangan, melainkan di balik layar gawai yang berkelap-kelip.
Ranah siber kini memang menjadi lahan disrupsi demokrasi bagi para kontestan politik, yang membuat aktivitas kampanye tak lagi dibatasi ruang dan waktu.
Tak ayal, media sosial menjadi wadah bagi para calon kepala daerah maupun tim pemenangan untuk memasarkan visi, misi, serta programnya secara masif. Bahkan tak jarang dijumpai justru disalahgunakan untuk melayangkan kampanye hitam hingga ujaran kebencian.
Kampanye dalam ruang digital memengaruhi daya ungkit dari citra para calon peserta pilkada. Hal ini bukan tanpa alasan. Menurut data Asosiasi Penyelenggara Internet Indonesia, lebih dari 221 juta jiwa penduduk Nusantara terhubung ke internet sehingga ruang siber dalam pilkada telah menjadi panggung politik.
Tak lagi sekadar tempat bertukar kabar dan berselancar di media sosial, internet telah menjelma menjadi arena pertarungan politik yang sengit. Kampanye hitam, perang opini, hingga penyebaran hoaks menjadi bumbu penyedap yang menghangatkan suasana.
Fenomena ini tergambar sebagai politik siber, membawa angin segar sekaligus badai yang bisa mengancam demokrasi di Tanah Air.
Di Kalimantan Timur, yang lebih dari 80 persen penduduknya telah terhubung ke internet, gaung politik siber makin terasa. Para calon pemimpin daerah berlomba-lomba mencuri perhatian di dunia maya, menghiasi lini masa dengan janji-janji manis dan program-program inovatif.
Namun, di balik kemudahan akses dan interaksi yang ditawarkan, politik siber menyimpan potensi ancaman yang tak boleh diabaikan.
Mengubah lanskap politik
Salah satu perubahan paling mencolok dalam lanskap politik siber adalah penggunaan media sosial sebagai instrumen kampanye politik.
Partai politik dan politikus kini berlomba-lomba memanfaatkan platform media sosial seperti Facebook, Twitter, Instagram, TikTok, hingga YouTube untuk menjangkau konstituen, menyebarkan pesan politik, membangun citra publik, sekaligus menggalang dukungan.
Ahmad Fauzan dalam jurnal ilmiah berjudul Media Sosial: Alat Kampanye Politik yang Efektif di Era Digital memaparkan bahwa media sosial menawarkan sejumlah keunggulan dibandingkan media konvensional seperti televisi, radio, atau surat kabar.
Media sosial dapat menjangkau jutaan pengguna secara simultan tanpa batasan geografis. Memanfaatkan media sosial untuk kampanye politik dianggap cenderung lebih murah dibandingkan dengan media konvensional.
Media sosial memungkinkan interaksi dua arah antara politikus dengan pemilih sehingga menciptakan hubungan yang lebih personal. Media sosial memungkinkan informasi dan pesan kampanye tersebar dengan cepat dan efisien.
Politikus juga dapat memantau sentimen publik dan memperoleh umpan balik secara langsung melalui media sosial.
Lebih dalam, Jerry Indrawan dalam tulisannya di Jurnal Politik Pembangunan Nasional Veteran Jakarta, menyoroti peningkatan partisipasi politik masyarakat di era siber.
Partisipasi politik masyarakat di era siber disebutnya mengalami peningkatan, khususnya melalui sarana-sarana daring.
Kendati demikian, penggunaan media sosial dalam kampanye politik juga memunculkan tantangan baru. Maraknya penyebaran berita bohong atau hoaks, ujaran kebencian, dan kampanye hitam menjadi ancaman serius bagi integritas pemilu dan demokrasi.
Konten-konten negatif ini dapat dengan mudah menyebar dan memengaruhi opini publik, bahkan memicu konflik horizontal di masyarakat.
Fenomena pendengung alias buzzer politik juga menjadi perhatian khusus dalam dinamika politik siber. Buzzer politik, yang digandeng untuk membentuk opini publik dan menyerang lawan politik, dapat memanipulasi informasi dan menciptakan disinformasi yang masif.
Keberadaan pendengung politik dapat mengancam kualitas diskursus publik dan mereduksi nilai-nilai demokrasi. Namun di sisi lain, politik siber juga membuka peluang besar bagi peningkatan partisipasi politik masyarakat.
Kemudahan akses informasi dan komunikasi di ruang siber memungkinkan masyarakat untuk lebih aktif terlibat dalam diskusi politik, menyampaikan aspirasi, dan mengkritisi kebijakan pemerintah.
Masyarakat kini dapat dengan mudah mengakses informasi politik, mengikuti perkembangan isu terkini, dan berinteraksi langsung dengan politikus melalui media sosial.
Platform media sosial juga menjadi ruang bagi masyarakat untuk menyuarakan pendapat, berdebat, dan berpartisipasi dalam petisi daring.
Studi yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2023 menunjukkan bahwa partisipasi politik masyarakat di era siber mengalami peningkatan, khususnya melalui sarana-sarana daring.
Kampanye daring yang banyak dilakukan melalui media sosial menjadi salah satu faktor pendorong peningkatan partisipasi politik masyarakat.
Akan tetapi, peningkatan partisipasi politik di era siber juga perlu diimbangi dengan literasi digital yang memadai.
Masyarakat perlu dibekali dengan kemampuan untuk menyaring informasi, membedakan berita bohong dan fakta, serta menggunakan media sosial secara bertanggung jawab. Tanpa literasi digital yang memadai, masyarakat rentan terpapar hoaks, disinformasi, dan manipulasi informasi.
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024