Kejahatan penyalahgunaan narkoba ini memang serius, tetapi pemenjaraan terhadap pelakunya mesti ditinjau ulang

Jakarta (ANTARA) - Perbincangan tentang lembaga pemasyarakatan (lapas) maupun rumah tahanan negara (rutan) yang penghuninya melebihi daya tampung (overcapacity) kembali menyeruak begitu terbentuk pemerintahan baru yang dipimpin Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming.

Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengakui masalah kepadatan (overcrowded) penghuni lembaga pemasyarakatan (lapas) dan rumah tahanan negara (rutan) bukan hal yang mudah diatasi.

Meski demikian, Yusril berjanji bahwa Pemerintah akan mencari jalan keluar atas permasalahan overcapacity lapas dan rutan yang telah menjadi masalah klasik di negara ini.

Secara keseluruhan saat ini di Indonesia terdapat 531 lapas dan rutan dengan kapasitas 140.424 orang. Per September 2024, jumlah narapidana dan tahanan secara keseluruhan sebanyak 273.390 orang.

Dari data di atas terlihat jumlah penghuni nyaris dua kali lipat daya tampung lapas dan rutan. Bukan saja tak layak, kepadatan penghuni lapas dan rutan ini tentu memunculkan persoalan lain yang tak kalah serius.

Apakah untuk mengatasi persoalan kepadatan penghuni lapas dan rutan ini cukup dengan membangun lapas dan rutan baru? Belum tentu.

Apabila jumlah orang yang dimasukkan lapas dan rutan sebagai hukuman atas pelanggaran hukum yang mereka lakukan tidak berkurang, lebih-lebih justru bertambah, maka persoalan overcapacity ini tidak akan pernah terselesaikan.

Tinjau ulang sistem peradilan umum

Institut for Criminal Justice Reform (ICJR) mencatat cara kerja sistem peradilan umum di Indonesia merupakan salah satu faktor yang menyebabkan persoalan kepadatan lapas dan rutan.

Pidana penjara masih menjadi opsi yang sering digunakan para jaksa dan hakim dalam pemberian hukuman ketimbang bentuk pidana lain. Akibatnya, pemasyarakatan yang menjadi muara akhir sistem peradilan pidana pada akhirnya harus menanggung beban berat.

Semestinya sistem peradilan dibuat lebih efisien. Dalam hal penahanan, misalnya. Penahanan yang tidak perlu harus dikurangi, seperti penahanan di rutan sebelum persidangan. Penahanan rumah atau penahanan kota bisa menjadi alternatif.

Selain itu, pidana bersyarat seperti diatur dalam Pasal 14a KUHP lama (KUHP baru, UU No.1/2023 berlaku mulai 2026, red) lebih serius dipertimbangkan untuk diterapkan.

Pidana bersyarat ini memungkinkan terpidana tidak menjalani hukumannya, kecuali di kemudian hari ada putusan hakim yang menentukan lain, misalnya, karena terpidana melakukan tindak pidana lagi selama masa percobaan. Cara ini diperuntukkan bagi terpidana yang divonis hukuman kurungan paling lama 1 tahun.

Pidana bersyarat ini berbeda dengan hukuman masa percobaan, meski sama-sama tidak langsung menjalani hukuman kurungan. Terpidana yang divonis hukuman percobaan tetap harus menjalani hukumannya, tetapi tidak dimasukkan lapas, tetapi dalam pengawasan.

Terpidana hukuman percobaan akan dikirim ke lembaga pemasyarakatan apabila selama dalam masa percobaan itu melanggar ketentuan.

Sementara dalam KUHP baru terdapat sanksi baru yang nantinya diharapkan juga bisa diterapkan secara maksimal, yakni pidana kerja sosial. Pidana ini diperuntukkan bagi terdakwa kasus pidana dengan ancaman hukuman penjara kurang dari 5 tahun dengan putusan hakim berupa pidana penjara paling lama 6 bulan.

Penahanan secara selektif, penerapan hukuman bersyarat, dan juga hukuman percobaan bisa menjadi solusi untuk mengurangi arus masuk ke lapas dan rutan.

Penerapan rehabilitasi ketimbang pemenjaraan

Sebagaimana dirilis kementerian terkait, narapidana dan tahanan kasus narkoba menjadi penyumbang terbesar kepadatan lapas dan rutan. Separuh lebih jumlah penghuni lapas dan rutan berasal dari kelompok ini.

Kejahatan penyalahgunaan narkoba ini memang serius, tetapi pemenjaraan terhadap pelakunya mesti ditinjau ulang. Penerapan hukuman ini harus lebih selektif sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan.

Hukuman bagi pengguna, pengedar, pengguna sekaligus pengedar, dan bandar tentu harus dibedakan. Tidak semua harus menjalani penahanan lebih-lebih hukuman penjara.

Undang Undang No. 35 Tahun 2009 membuka ruang selain hukuman pemenjaraan dalam perkara narkotika. Menurut Pasal 54 undang-undang itu, pecandu dan korban penyalahgunaan narkotika wajib menjalani rehabilitasi medis dan sosial.

Selain mengurangi arus masuk orang ke penjara, rehabilitasi bagi korban penyalahgunaan narkotika dianggap lebih baik daripada sanksi pidana. Melalui rehabilitasi, mereka akan disembuhkan dari ketergantungan, dikembangkan kemampuan fisik, mental, dan sosialnya.

Mahkamah Agung melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.7 Tahun 2009 tentang Menempatkan Pemakai Narkoba ke Dalam Panti Terapi dan Rehabilitasi yang kemudian diubah dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No.4 Tahun 2010 tentang Penempatan Penyalahgunaan, Korban Penyalahgunaan, dan Pecandu Narkotika ke Dalam Lembaga Rehabilitasi Medis dan Rehabilitasi Sosial menyatakan bahwa narapidana dan tahanan narkoba termasuk ke dalam pemakai dan korban yang secara aspek kesehatan merupakan orang sakit, dan memenjarakan narapidana narkoba bukan langkah tepat karena mengabaikan kepentingan perawatan dan pengobatan.


Baca juga: Menko Yusril: KUHP baru tidak kedepankan hukum penjara

Keadilan restoratif

Upaya lain mengurangi bertambahnya jumlah penghuni lapas dan tahanan adalah dengan menerapkan keadilan restoratif (restorative justice). Ini adalah penyelesaian perkara pidana dengan pendekatan mediasi atau nonyudisial.

Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2024 mendefinisikan keadilan restoratif sebagai pendekatan dalam penanganan perkara tindak pidana yang dilakukan dengan melibatkan para pihak, baik korban, keluarga korban, terdakwa/anak, keluarga terdakwa/anak, dan/atau pihak lain yang terkait, dengan proses dan tujuan yang mengupayakan pemulihan, dan bukan hanya pembalasan.

Kejaksaan dan Polri telah menerapkan keadilan restoratif ini untuk mengatasi kekakuan hukum positif guna menghadirkan keadilan bagi masyarakat, utamanya rakyat kecil.

Sejak menerapkan keadilan restoratif pada 2020, Kejaksaan tercatat sudah menyelesaikan sedikitnya 5.600 kasus, sementara Polri mencatat 48.118 kasus diselesaikan melalui mekanisme ini sejak memberlakukannya pada 2021.

Jika pendekatan keadilan restoratif ini konsisten dijalankan, bukan hanya keadilan lebih bisa dirasakan masyarakat, melainkan juga bisa menekan bertambahnya penghuni lapas dan rutan, yang pada akhirnya mencegah bertambahnya padatnya lapas dan rutan.

Editor: Achmad Zaenal M

Copyright © ANTARA 2024