Jakarta (ANTARA) - Kualitas peradaban suatu bangsa sangat ditentukan oleh mutu bangsa tersebut dalam menjawab tantangan zaman. Kualitas kita dalam menjawab tantangan itu menunjukkan kelas peradaban kita sebagai bangsa unggul atau tidak.

Akhlak bangsa penting dalam menciptakan kelas peradaban yang unggul. Tanpa akhlak yang mulia, bangsa tersebut tidak akan memiliki keunggulan komparatif dengan bangsa-bangsa lain dalam kancah pergaulan dunia.

Namun, nilai-nilai seperti apa yang mesti kita tumbuhkan dalam kehidupan masyarakat sehingga secara eskalatif values tersebut dapat menjadi penopang utama peradaban unggul.

Menurut ahli hukum tata negara Dahlan Ranuwihardjo cum salah seorang pendiri Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), peradaban unggul hanya dapat lahir dari nilai-nilai yang unggul. Adapun values yang unggul tersebut lahir dari nilai-nilai yang secara kosmis datang dari ajaran-ajaran Tuhan, Allah Swt., pencipta alam semesta.

Lalu bisakah Indonesia kita dorong menjadi bangsa yang memiliki peradaban unggul? Tentu saja sangat bisa! Semua itu sangat tergantung pada spirit penyelenggara negara kita.

Jika pemimpin bangsa ini dapat berpikir mendalam, maka bangsa ini bisa menjadi negara superpower yang mengungguli dunia dengan peradaban yang tinggi. Hal itu akan terjadi jika nilai-nilai Pancasila betul-betul menjadi dasar penyelenggaraan negara, tidak berhenti sebagai slogan politik yang kosong.


Ada apa dengan Pancasila?

Sejauh ini, di dunia hanya dikenal dua jenis negara dilihat dari pandangan ideologis yang selama ini terbangun, yaitu negara sekuler dan negara agama. Namun, Dahlan Ranuwihardjo memiliki pandangan berbeda, bahwa jenis negara itu ada tiga, yakni negara sekuler, negara agama, dan negara Pancasila.

Negara Pancasila dalam pandangannya adalah wujud negara yang paripurna. Mengapa dapat disimpulkan demikian?

Sebab, Pancasila dapat dianggap sebagai etika bangsa karena nilai-nilai yang terkandung di dalamnya menjadi pedoman moral dan perilaku bagi masyarakat Indonesia. Sebagai dasar negara, Pancasila tidak hanya mengatur hubungan antara negara dan rakyatnya, tetapi juga mencerminkan prinsip-prinsip etika yang ideal dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Ada baiknya kita perkaya pandangan Dahlan Ranuwihardjo itu dengan penjelasan penulis sebagai berikut. Secara berurutan akan kami jelaskan satu demi satu.

Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa. Sila pertama ini mendorong bangsa Indonesia untuk menghormati keberagaman agama dan kepercayaan, menciptakan sikap saling toleransi dan penghormatan terhadap keyakinan orang lain. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa ini juga dapat mendorong warga negara menjaga moralitas mereka dalam kehidupan sehari-hari. Jika yang bukan haknya jangan diambil dan jika itu hak orang lain segera diberikan.

Apabila sikap tidak mau mengambil hak orang lain itu menjadi sikap para pejabat di negeri ini, maka bangsa ini tidak akan melahirkan koruptor. Itu artinya dana pembangunan yang kini mencapai Rp3.000 triliun tersebut dapat dimaksimalkan untuk membangun negara.

Kedua, nilai Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Sila kedua ini mengajarkan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan perlakuan yang adil kepada sesama. Jika nilai-nilai ini menjadi sikap hidup para pejabat di seluruh negeri ini, maka tidak akan lahir para pejabat yang angkuh, semena-mena terhadap rakyat, namun sungguh-sungguh mengurus kepentingan rakyat dengan sikap negarawan.

Persoalannya adalah bagaimana cara mendongkrak nilai-nilai kemanusiaan tersebut agar tidak diselewengkan oleh para pejabat? Peran serta para akademisi dan kaum intelektual penting dan mendesak agar mereka bersuara memberi peringatan atas sikap dan tindakan serta kebijakan yang dibuat agar mencerminkan nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara kita.

Mengapa kaum akademisi dan intelektual yang harus bersuara? Sebab mereka memiliki ilmu dan pengalaman yang cukup memadai untuk berbicara persoalan bangsa.

Ketiga, pentingnya Persatuan Indonesia. Indonesia dikenal sebagai negara yang majemuk. Oleh karena itu, setiap usaha untuk mengedepankan persatuan di tengah keberagaman budaya, suku, dan agama, serta mencegah diskriminasi dan konflik adalah prasyarat mutlak tegaknya bangsa ini.

Dalam konteks menegakkan kehidupan bangsa tersebut, penting sekali kiranya kita selalu mawas diri, tepo seliro, tenggang rasa, tidak egois, tidak aji mumpung, dan tidak boleh bersikap rakus atas sumber daya alam kita.

Di sinilah dibutuhkan pemimpin yang kuat dan tangguh untuk memperbaiki akhlak dalam berbangsa dan bernegara.

Keempat, adalah soal Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan. Sila ini memberikan pedoman pada seluruh penyelenggara negara agar kita menjadi republik yang mengindahkan nilai-nilai moral.

Nilai-nilai ini mengajarkan praktik demokrasi yang beretika, seperti musyawarah dan penghormatan terhadap keputusan bersama, bukan demokrasi yang diwarnai politik sogok- menyogok dalam setiap sisi penyelenggaraannya.

Demokrasi, sejatinya konsekuensi logis dari pilihan bangsa ini menjadi republik, bukan monarki atau kerajaan. Oleh sebab itu, siapa pun presidennya, Indonesia harus tetap merupakan republik di mana rakyat adalah pemegang utama kekuasaan dalam negara. Pemimpin yang tidak menginsafi pandangan dan hakikat republikanisme itu pasti akan berhadapan dengan kekuatan rakyat.

Kelima, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia adalah tujuan utama kita dalam berbangsa dan bernegara. Oleh karena kesadaran akan pentingnya keadilan sosial itu, maka hukum kemudian lahir guna mengatur seluruh keinginan rakyat agar diperlakukan secara adil dan berkeadilan.

Atas kesadaran meraih keadilan itu pula maka polisi dibentuk, jaksa menuntut, dan hakim memutuskan segala perkara yang terjadi di antara warga negara. Untuk itu, di pundak para penegak hukumlah negeri ini berdiri tegak atau justru roboh.

Sejalan dengan kesadaran itu maka setiap usaha untuk mengutamakan pemerataan dan keadilan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti ekonomi, pendidikan, dan kesejahteraan adalah suatu keharusan

Nilai-nilai ini menjadi acuan dalam menjaga harmoni dan membangun bangsa yang beradab. Jadi, Pancasila tidak hanya sebagai dasar negara tetapi juga landasan etis dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan kata lain Pancasila menjadi nilai-nilai dasar tegak dan runtuhnya akhlak bangsa.

*) Fathorrahman Fadli adalah Direktur Eksekutif Indonesia Development Research (IDR) dan Pegiat Institut Peradaban

Editor: Achmad Zaenal M

Copyright © ANTARA 2024