Padahal Provinsi Lampung adalah satu satu gudang beras nasional, bahkan selalu surplus produksi beras sehingga dapat memasok beras ke daerah lain.
“Menjadi pertanyaan kita bersama, produksi beras di Lampung ini surplus, tetapi kenapa beras menjadi komoditas yang memicu inflasi sepanjang tahun,” kata Gun Gun Nugraha dari Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Lampung.
Hasil kajian Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Lampung, bekerja sama dengan Universitas Lampung (Unila) dan Statistisi BPS Provinsi Lampung, menunjukkan tiga komoditas utama yang menjadi pemicu inflasi di daerah ini, yaitu beras, bawang merah, dan cabai merah.
Pada diskusi finalisasi penyusunan Kajian Strategi Pengendalian Inflasi di Provinsi Lampung, pekan ini, para pihak dari dinas terkait di provinsi ini: Bulog, Bank Indonesia Lampung, BPS Lampung, Kadinda, beberapa akademisi, dan perwakilan dari beberapa kabupaten dan kota di Lampung (Lampung Timur, Mesuji, Kota Bandarlampung, dan Kota Metro), sepakat segera memberikan perhatian khusus pada tiga komoditas tersebut.
Forum bersepakat untuk mengendalikan inflasi di Lampung pada angka yang proporsional sesuai kebijakan Pemerintah Pusat dan daerah, perlu perlakuan khusus untuk ketiga komoditas dimaksud.
Mereka menghendaki tindak lanjut di masing-masing dinas terkait, baik di pemerintah provinsi maupun kabupaten dan kota di seluruh Lampung, tidak membiarkan begitu saja pada mekanisme pasar semata.
Contohnya, untuk komoditas beras. Sebagai daerah penghasil dan surplus beras, pemerintah daerah perlu menjaga pasokan dan stok beras untuk kebutuhan lokal, agar harganya tidak meningkat sehingga berdampak inflasi tinggi.
Lampung juga perlu menjaga areal pertanian beras, bahkan bila diperlukan menambah areal sawah baru, selain melakukan intensifikasi dengan meningkatkan indeks pertanaman (IP).
Begitu pula untuk dua komoditas lainnya, cabai merah dan bawang merah, perlu dilakukan peningkatan areal budi dayanya oleh para petani di daerah ini, di kabupaten dan wilayah yang memungkinkan melakukannya, mengingat masih ada wilayah yang justru sama sekali tak ada petaninya yang membudidayakan bawang merah. Padahal, Lampung selalu defisit bawang merah sehingga harus "impor" bawang dari daerah lain (Brebes). Akibatnya harganya kerap melonjak.
Upaya untuk menekan inflasi hingga titik stabil yang diinginkan Pemerintah, juga perlu diimbangi dengan peningkatan daya beli melalui pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat. Bila ekonomi tumbuh berkelanjutan, daya beli masyarakat juga makin meningkat, sepanjang pasokan bahan pokok penyebab inflasi tersedia dengan cukup sehingga inflasi terkendali.
Penumbuhan ekonomi itu, antara lain, dengan memberikan dukungan iklim usaha yang kondusif terutama bagi sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) sebagai salah satu penopang utama ekonomi di daerah ini.
Sejumlah pelaku UMKM di Lampung, termasuk yang sudah masuk ke marketplace (lokapasar) belakangan mengeluhkan omzet penjualan yang cenderung menurun. Mereka merasakan ada kelesuan ekonomi sehingga perlu dipacu dengan berbagai kebijakan stimulan yang memadai untuk menggairahkan kembali ekonomi lokal di sini.
Sebelumnya, BPS Provinsi Lampung telah mengumumkan inflasi year-on-year (yoy) gabungan empat kabupaten/kota di Provinsi Lampung pada Januari 2024 sebesar 3,28 persen. Sementara itu, inflasi month-to-month (mtm) pada Januari 2024 tercatat deflasi sebesar -0,19 persen. Deflasi serupa juga terjadi pada inflasi year-to-date (ytd) dengan angka -0,19 persen.
Kepala BPS Provinsi Lampung Atas Parlindungan Lubis menjelaskan bahwa perhitungan angka inflasi kali ini menggunakan tahun dasar baru berdasarkan hasil Survei Biaya Hidup (SBH) Tahun 2022 sehingga mulai Februari 2024 BPS menggunakan tahun dasar 2022=100.
Sebelumnya, BPS Provinsi Lampung mengukur inflasi dari gabungan dua kota, yaitu Bandarlampung dan Metro, dengan tahun dasar 2018=100. Mulai awal tahun ini, BPS menambahkan dua daerah survei inflasi baru, yaitu Kabupaten Lampung Timur dan Kabupaten Mesuji.
Inflasi dan penyebabnya
Pada Januari 2024, terjadi inflasi (yoy) Provinsi Lampung sebesar 3,28 persen dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 106,55. Inflasi tertinggi terjadi di Kabupaten Lampung Timur sebesar 5,39 persen dengan IHK sebesar 109,05 dan terendah terjadi di Kota Metro sebesar 1,99 persen dengan IHK sebesar 104,52.
Inflasi (yoy) terjadi karena adanya kenaikan harga yang ditunjukkan oleh naiknya sebagian besar indeks (inflasi) kelompok pengeluaran, dengan kelompok makanan, minuman, dan tembakau mengalami inflasi tertinggi, yaitu 7,49 persen.
Sementara itu, tingkat inflasi (mtm) dan (ytd) Provinsi Lampung bulan Januari 2024 mengalami penurunan indeks (deflasi) masing-masing sebesar 0,19 persen.
Deflasi (mtm) pada Januari 2024 salah satunya disebabkan oleh kelompok pengeluaran makanan, minuman, dan tembakau, dengan tingkat andil deflasi sebesar -0,21 persen.
Komoditas utama penyumbang deflasi pada kelompok ini antara lain cabai merah (-0,136 persen), cabai rawit (-0,086 persen), daging ayam ras (-0,064 persen), telur ayam ras (-0,026 persen), dan ikan kembung (-0,023 persen).
Kemudian, jelang akhir tahun ini, pada Oktober 2024, terjadi inflasi year on year (yoy) Provinsi Lampung sebesar 1,94 persen, dengan Indeks Harga Konsumen (IHK) sebesar 107,47. Inflasi tertinggi terjadi di Kabupaten Mesuji sebesar 2,83 persen, dengan IHK sebesar 110,69, dan terendah terjadi Kota Metro sebesar 1,58 persen dengan IHK sebesar 105,57. Sedangkan tingkat inflasi (mtm) Oktober 2024 tercatat inflasi sebesar 0,20 persen dan tingkat inflasi years to date (ytd) Oktober 2024 mengalami inflasi sebesar 0,67 persen.
Guna mengendalikan inflasi itu, sebagai salah satu lumbung pangan nasional, Pemprov Lampung perlu melakukan intervensi terhadap tata niaga beras, agar berkah dari surplus produksi beras di provinsi ini dapat dinikmati masyarakat dalam bentuk harga pangan yang terkendali sekaligus berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi daerah.
Hal itulah yang menjadi benang merah diskusi Strategi Pengendalian Inflasi Daerah, yang diselenggarakan di Aula Bappeda Provinsi Lampung akhir pekan ini.
Sesuai hasil kajian, tiga komoditas utama yang menjadi pemicu inflasi di daerah ini, yaitu beras, bawang merah, dan cabai merah.
Produksi beras di Lampung ini surplus, tetapi kenapa beras menjadi komoditas yang memicu inflasi sepanjang tahun. "Fenomena ini perlu mendapatkan jawaban,” kata Gun Gun Nugraha dari BPS Provinsi Lampung pula.
Menurut dia, pola tata niaga beras perlu didalami untuk melihat "perilaku" beras yang menjadi salah satu pemicu inflasi di daerah, selain bawang merah dan cabai merah.
Produksi padi di Provinsi Lampung menurut data BPS pada 2023 tercatat sebesar 2.757.900 ton. Jumlah produksi ini masih lebih tinggi (surplus) dibandingkan kebutuhan konsumsi daerah. Namun dari pantauan pergerakan harga-harga di daerah, beras menjadi salah satu yang menunjukkan tren kenaikan harga dari waktu ke waktu dan menyumbang inflasi di Provinsi Lampung.
Fiskara Indawan, ekonom senior Kantor Perwakilan Bank Indonesia Lampung, menengarai beras Lampung banyak yang keluar daerah dalam bentuk raw material. Oleh karena itu, perlu pengaturan bagaimana agar surplus gabah Lampung bisa terserap dengan baik di pasar lokal sehingga tidak memicu inflasi. Begitu pula gabah agar bisa dihilirisasi di daerah sehingga bisa mendorong pertumbuhan ekonomi juga.
Melihat masalah tersebut, Pemerintah perlu mengintervensi tata niaga komoditi strategis yang selama ini menjadi pemicu inflasi daerah.
Asrian Hendi Caya dari Kadinda Lampung menyarankan tata niaga komoditas strategis tidak diserahkan sepenuhnya ke mekanisme pasar. Jadi, perlu intervensi dan keberpihakan Pemerintah agar berkah melimpahnya komoditas daerah ini bisa dinikmati dalam bentuk harga yang terjangkau dan memiliki andil menumbuhkan ekonomi lokal.
Sejumlah upaya strategis itu perlu dilakukan pemerintah daerah bersama pemangku terkait agar dapat efektif mengendalikan inflasi sesuai dengan patokan yang diharapkan.
Editor: Achmad Zaenal M
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024