Djoko mengatakan di Jakarta, Sabtu, sejumlah masalah etika yang terkait dengan kemajuan teknologi dalam kedokteran seperti privasi dan kerahasiaan pasien, keadilan akses terhadap terhadap teknologi, tanggung jawab dalam penggunaan teknologi, serta penggunaan data untuk penelitian.
"Kemajuan teknologi seperti rekam medis elektronik dan telemedisin meningkatkan risiko pelanggaran privasi. Data medis yang disimpan secara digital lebih rentan terhadap peretasan dan penyalahgunaan, sehingga dokter harus berhati-hati dalam menjaga kerahasiaan informasi pasien," dia menjelaskan.
Baca juga: MKEK IDI kaji ulang KODEKI dan Sumpah Dokter sesuaikan dengan era
Djoko menambahkan, selain itu, tidak semua pasien memiliki akses yang sama terhadap teknologi medis terbaru, seperti alat diagnostik canggih atau terapi gen. Hal ini dapat menimbulkan ketidakadilan dalam pelayanan kesehatan, di mana pasien dengan kondisi sosial-ekonomi yang lebih rendah mungkin tidak mendapatkan perawatan terbaik.
Kemudian, dengan adanya teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) untuk diagnosis atau robot bedah, muncul pertanyaan tentang siapa yang bertanggung jawab jika terjadi kesalahan.
"Apakah dokter, pengembang teknologi, atau sistem itu sendiri yang harus bertanggung jawab atas hasil pengobatan yang buruk?" katanya.
Terkait penggunaan data untuk penelitian, data medis yang dikumpulkan dari pasien sering digunakan untuk penelitian, namun penggunaan data ini harus mendapatkan persetujuan dari pasien. Masalah muncul ketika data digunakan tanpa izin, katanya, atau ketika pasien tidak sepenuhnya mengerti bagaimana data mereka akan digunakan.
Isu-isu lain yang Djoko soroti adalah intervensi genetik dan teknologi. Menurutnya, reproduksi teknologi untuk pengeditan gen dan fertilisasi in vitro (IVF) menimbulkan dilema etis tentang intervensi pada kehidupan manusia. Dia menambahkan, da pertanyaan tentang batasan apa yang harus ditetapkan dalam mengubah genetik manusia atau memilih karakteristik tertentu pada calon anak.
Baca juga: Menteri Kesehatan: UU Kesehatan sederhanakan perizinan praktik medis
Dia juga menyebutkan bagaimana teknologi dapat memengaruhi hubungan dokter dan pasien karena dapat mengurangi frekuensi tatap muka, yang dinilai bagi sebagian orang penting untuk menjaga kualitas hubungan.
"Jika dokter terlalu bergantung pada alat diagnostik otomatis, ini dapat mengurangi nilai pengamatan klinis langsung," katanya.
Dalam kasus tertentu, katanya, teknologi dapat memperpanjang hidup pasien yang berada dalam kondisi terminal. Hal ini menimbulkan pertanyaan etis tentang kapan sebaiknya pengobatan dihentikan dan siapa yang memiliki hak untuk membuat keputusan tersebut.
Masalah-masalah ini, kata Djoko, menunjukkan bahwa dokter harus mempertimbangkan tidak hanya aspek teknis, tetapi juga nilai-nilai etika dalam setiap langkah penggunaan teknologi medis.
Hal-hal itu menambah berbagai masalah di dunia kedokteran, katanya, seperti perundungan di dalam praktik dan pendidikan kedokteran.
"Perundungan di dunia kedokteran merupakan masalah serius yang dapat mempengaruhi kesejahteraan tenaga medis, lingkungan kerja, dan kualitas perawatan pasien," katanya.
Dengan komunikasi yang beretika, kata Djoko, diharapkan masalah perundungan dapat dihindari dengan menghormati martabat orang lain, meningkatkan kualitas interaksi antara dokter dengan dokter, dokter dengan pasien dan dokter dengan masyarakat pada umumnya.
Baca juga: PB IDI ajak seluruh pihak atasi tantangan kesehatan pada momentum HKN
Baca juga: PB IDI ajak bersatu atasi tantangan kesehatan bangsa
Baca juga: PB IDI kecam pemukulan dokter di Papua oleh pejabat setempat
Pewarta: Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2024