Jakarta (ANTARA) - Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK) Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengkaji ulang tentang Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) dan Sumpah Dokter, menyesuaikan dengan perkembangan peradaban manusia terkini.

Ketua MKEK IDI Djoko Widyarto JS dalam konferensi pers di Jakarta, Sabtu, mengatakan bahwa pada 2017, World Medical Association merevisi Sumpah Dokter, namun Indonesia belum menyesuaikan. Selain itu, di Berlin, pada 2022, terdapat perubahan kode etik kedokteran internasional. Adapun pihaknya telah mempersiapkan draf untuk kode etik serta sumpahnya.

Baca juga: PDIB minta MKEK jadi lembaga independen tidak di bawah IDI

"Besok akan kita bahas dan itu pun belum disahkan dalam muktamar. Masih menunggu muktamar di Lombok bulan Februari 2025, setelah itu baru sah, itu akan berlaku," katanya.

Acuan revisinya, kata dia, adalah kode etik internasional, namun dengan tetap memperhatikan nilai-nilai budaya lokal.

"Kode etik kita itu tahun 2012, ada 21 pasal dan kita sudah melihat apa yang ada di KODEKI itu ada beberapa yang perlu disesuaikan dengan perkembangan," katanya.

Adapun sejumlah hal yang menjadi perhatian dalam penyesuaian kode etik tersebut seperti telemedisin. Pihaknya menerima masukan-masukan dari pihak yang berkepentingan.

Baca juga: Sanksi etika untuk perawat yang diduga lakukan pelecehan seksual

Baca juga: IDI tolak jadi eksekutor kebiri


Wakil Ketua Divisi Kemahkamahan MKEK Pusat IDI Bahtiar Husain menambahkan salah satu contoh nilai budaya lokal dalam menentukan kode etik adalah tentang aborsi. Di Barat, aborsi legal, sedangkan untuk Indonesia, tidak sembarangan dilakukan.

"Etika ini adalah milik profesi, yang harus dibuat, dipantau dan dievaluasi oleh profesi, dan etika adalah yang membuat sebuah profesi mulia. Menjadi salah satu pilar membentuk profesionalisme dokter selain keilmuan/knowledge, skill, dan attitude," katanya.

Ketua Dewan Penasehat MKEK IDI Frank Santosa menambahkan hal lain yang perlu diperhatikan dalam kajian ulang adalah penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam diagnosis, bagaimana dokter bertanggung jawab atas penggunaanya apabila di kemudian hari terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pasien akibat penggunaan tersebut.

Pewarta: Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2024