“Krisis sumber daya manusia adalah krisis yang harus segera dibenahi di Indonesia, yakni krisis ketika pendidikan justru mengasingkan manusia dari potensi dan bakat terpendamnya. Krisis ini berpotensi melahirkan kesenjangan manusia dengan sosialnya dan dirinya sendiri,” kata Rizal dalam keterangan resmi di Jakarta, Jumat.
Rizal mengatakan usul tersebut ia keluarkan setelah menyoroti adanya ketimpangan akses menjadi akibat dari paradigma pendidikan yang berorientasi pada modal manusia yang hanya menyiapkan siswa menjadi tenaga kerja.
Akibatnya, manusia dianggap sebagai obyek pendidikan, bukan subyek atau pelaku utama, siswa-siswa di segala tingkatan pendidikan termasuk mahasiswa sering tidak menikmati proses belajarnya.
Baca juga: Wamen P2MI harap lembaga pendidikan adopsi kurikulum bahasa Jerman
Baca juga: Pemerhati: Kurikulum pendidikan harus terus bertransformasi & dinamis
Pendidikan inilah, kata dia, yang menjauhkan mereka dari talenta, bakat atau passion-nya. Ia mengingatkan jika hal ini terus berlanjut hingga di dunia kerja, para tidak akan produktif dan mencintai pekerjaannya.
“Setiap manusia harus merasa punya kesempatan dan pilihan bebas untuk menjadi dirinya, menjadi manusia yang berfungsi untuk mewujudkan kualitas kehidupan yang dicita-citakan, dan memberikan nilai atau makna pada kehidupannya,” kata dia.
Kualitas pendidikan di Indonesia, dinilainya juga belum bisa maju karena masih berkutat pada pemikiran terkait sistem pendidikan di masa lalu.
“Program baru masih didekati dengan cara berpikir dan cara bertindak yang lama, sehingga hanya sekadar menghasilkan formalisme, administrasi, dan jargon baru. Jadi, meskipun kurikulum sudah berganti dua belas kali, akreditasi sekolah sudah mencapai 90 persen lebih, kualitas pendidikan kita masih stagnan,” katanya.
Rizal menyatakan permasalahan tersebut membuat skor literasi, numerasi dan sains Indonesia masih di peringkat tujuh terbawah di negara-negara yang disurvei oleh Programme International Student Assessment (PISA).
Indeks daya saing global Indonesia juga masih berada di peringkat 82 berdasarkan peringkat yang dikeluarkan oleh The Global Talent Competitiveness Index 2022.
Maka dari itu, menurutnya pengetahuan yang diperoleh oleh para siswa sebaiknya bersifat konstruktivis atau dihasilkan dari pengalaman dan interaksinya dengan manusia lain dan sekitarnya. Bukan karena ceramah atau hafalan.
“Suasana belajar seperti inilah yang akan memerdekakan siswa untuk menghasilkan pikiran-pikiran baru. Manusia dengan bekal seperti inilah yang membuatnya tidak mudah dikendalikan oleh teknologi AI. Namun, justru bisa menempatkan AI sebagai asisten yang paling cerdas untuk membantu meningkatkan produktivitas dan dampak bagi masyarakat,” ujarnya.
Hal tersebut juga mendorong para siswa untuk mencintai pekerjaan dan proses belajarnya, sehingga akan timbul pemikiran bahwa hidupnya bernilai dan terhindar dari krisis sumber daya manusia.
Baca juga: BSSN targetkan literasi keamanan siber masuk kurikulum pendidikan
Baca juga: Menunggu arah kebijakan pendidikan Prabowo
Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2024