"Pengawasan partisipatif menjadi sinyalemen yang penting untuk menjaga integritas pilkada," kata Manajer Riset dan Program, The Indonesian Institute Arfianto Purbolaksono di Jakarta, Jumat.
Arfianto mengapresiasi putusan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) yang menunda bansos, karena tersebut dinilai dapat menjaga integritas demokrasi di tingkat daerah, sebab penggunaan bansos di masa kontestasi politik, kerap kali menguntungkan pasangan tertentu.
Namun, menurut Arfianto putusan Kemendagri diharapkan tidak mengendurkan pengawasan dalam penyelenggaraan Pilkada 2024.
"Belajar dari Pemilu 2024, keikutsertaan masyarakat dalam proses pengawasan kampanye pemilihan umum (Pemilu) yang lalu menjadi catatan baik yang harus dilanjutkan dalam penyelenggaraan pilkada," tuturnya
Selain itu, pengawasan partisipatif lanjut dia, telah diatur dalam Perbawaslu Nomor 2 Tahun 2023 sebagai payung hukum pengawasan partisipatif dan SK Bawaslu Nomor 204/PM.05/K1/05/2024 sebagai pedoman pelaksanaannya.
Oleh karena itu, pengawasan partisipatif yang mengikutsertakan masyarakat harus ditingkatkan jelang pemungutan suara pada 27 November nanti.
Ia menambahkan bahwa dalam kajian akhir tahun The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research (TII), Indonesia 2024, yang membahas tentang Pengawasan Partisipatif di Pemilu 2024, ditemukan sejumlah catatan dan tantangan.
"Misalnya, masih adanya perbedaan pemahaman di Bawaslu Daerah terkait dengan pengawasan partisipatif. Selain itu, keterbatasan anggaran dan tenaga kerja menjadi tantangan besar dalam pelaksanaan pengawasan partisipatif," ujarnya.
Tantangan lain yang ditemukan dalam kajian TII lanjut Arfianto yaitu munculnya sikap pengawas ad hoc yang cenderung sekadar mencari pekerjaan. Kemudian, struktur birokrasi yang hirarkis dan lambat menambah hambatan dalam menindaklanjuti laporan pelanggaran dari masyarakat.
Arfianto mengatakan ada beberapa rekomendasi yang perlu dilakukan oleh para pihak untuk meningkatkan efektivitas pengawasan partisipatif pada pemilu di masa mendatang.
Pertama, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum, Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Komisi Pemilihan Umum (KPU), Bawaslu, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) harus merevisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Pemilu). Revisi tersebut perlu menyebutkan secara khusus penguatan pengawasan partisipatif dalam revisi UU Pemilu.
Baca juga: Bawaslu Jakut ajak siswa ikut lakukan pengawasan partisipatif
Baca juga: Bawaslu sambut ajakan kolaborasi JPPR dalam pengawasan partisipatif
Kedua, meningkatkan keseragaman pemahaman melalui komunikasi terpadu. Bawaslu perlu mengadakan pelatihan intensif secara berjenjang untuk komisioner di tingkat provinsi dan kabupaten/kota guna memastikan keseragaman pemahaman dan tindak lanjut terkait pengawasan partisipatif. Ketiga, penguatan Sumber Daya Finansial dan SDM.
Selain itu, Pemerintah perlu mempertimbangkan peningkatan alokasi anggaran bagi pengawasan partisipatif, khususnya di daerah-daerah yang memiliki keterbatasan.
Keempat, mendorong sikap proaktif dan komitmen masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan memberikan insentif non-finansial. Menciptakan program penghargaan non-finansial bagi masyarakat yang terlibat aktif dalam pengawasan pemilu.
Kelima, mendorong birokrasi penyelenggara pemilu yang responsif dengan meningkatkan koordinasi antar Bawaslu pusat dan daerah maupun dengan organisasi masyarakat sipil. Keenam, mendorong Bawaslu meningkatkan kolaborasi dengan organisasi masyarakat sipil maupun kelompok berbasis komunitas dalam melaksanakan pengawasan pemilu di seluruh tingkat.
Dengan demikian, rekomendasi-rekomendasi ini diharapkan dapat mendorong pengawasan partisipatif Pemilu yang lebih efektif dan responsif, serta meningkatkan partisipasi masyarakat yang lebih luas, serta laporan pelanggaran lebih tepat dan cepat ditindaklanjuti, sehingga tercipta pemilu yang lebih transparan, akuntabel, dan berintegritas.
Pewarta: Khaerul Izan
Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2024