Jakarta (ANTARA) - Pasar modal Indonesia menawarkan wadah bagi perusahaan untuk mendapatkan dana segar melalui proses Initial Public Offering (IPO), aksi right issue ataupun penerbitan obligasi korporasi.
Aksi IPO menjadi langkah awal bagi perusahaan untuk mendapatkan dana segar, yang nantinya akan mengantarkan kepada keterbukaan informasi serta kemudahan akses ke pendanaan lebih lanjut.
Dalam IPO, perusahaan akan melepas sebagian sahamnya ke investor publik dengan harga yang telah ditentukan dalam proses bookbuilding atau penawaran awal, sesuai Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No 41 Tahun 2020.
Saat bookbuilding, investor bisa menentukan ingin membeli saham perusahaan di harga berapa dan berapa banyak lot saham, dan nantinya akan terbentuk kurva permintaan (demand curve).
Setelahnya, perusahaan bersama Penjamin Pelaksana Emisi Efek akan menetapkan berapa harga yang akan dipasang saat aksi IPO di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Sejak 21 Desember 2023, BEI mewajibkan perusahaan tercatat memiliki saham free float paling sedikit 50 juta saham dan 7,5 persen dari jumlah saham tercatat, sebagaimana tertuang dalam Peraturan Bursa Nomor I-A tentang Pencatatan Saham dan Efek Bersifat Ekuitas Selain Saham yang Diterbitkan oleh Perusahaan Tercatat (Peraturan No. I-A).
Saat ini, BEI tengah melakukan kajian ulang batas minimal free float saat IPO, di antaranya memperpanjang waktu pemenuhan minimum rasio free float sebesar 10 persen hingga Oktober 2025 untuk evaluasi konstituen indeks IDX30, IDX45, dan IDX80
Pasar modal Indonesia menawarkan peluang tanpa batas (endless possibilities) bagi perusahaan yang ingin memperoleh dana segar dari investor, ujar Direktur Investment Banking Capital Market BRI Danareksa Sekuritas (BRIDS) Kevin Praharyawan.
Ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi oleh perusahaan sebelum melakukan aksi IPO, diantaranya laporan keuangan transparan, legalitas lengkap, serta perencanaan jangka panjang matang.
Dengan terlibat di pasar modal Indonesia, perusahaan akan memperoleh dana untuk ekspansi atau pengembangan usaha, meningkatkan profil perusahaan di mata publik, membuka peluang kerja sama strategis, serta memperluas jaringan investor
Perusahaan tercatat di Bursa juga memiliki akses lebih luas terhadap berbagai instrumen keuangan, serta dapat memanfaatkan berbagai kesempatan untuk tumbuh dan berkembang, yang sebelumnya sulit dijangkau melalui pembiayaan konvensional.
Sentimen di 2024
Pasar IPO global melambat sepanjang tahun 2024 di tengah sikap "wait and see" pelaku pasar seiring ramainya berbagai sentimen, diantaranya arah kebijakan bank sentral, konflik geopolitik, serta penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) di berbagai negara, termasuk Amerika Serikat (AS).
Pada kuartal III- 2024, secara global terjadi penurunan volume IPO sebesar 14 persen year on year (yoy) menjadi hanya 310 IPO dan penurunan pendapatan senilai 35 persen (yoy) menjadi senilai 24,9 miliar dolar AS, dibandingkan periode sama tahun sebelumnya.
Seiring dengan itu, pasar IPO di Indonesia juga melambat sepanjang tahun 2024 seiring pasar bersikap "wait and see" terhadap kebijakan pemerintahan baru dan arah kebijakan Bank Indonesia (BI).
Pada kuartal III- 2024, tercatat baru ada 34 perusahaan menggelar IPO dengan dana terkumpul senilai 300 juta dolar AS, atau lebih rendah dibandingkan sebanyak 66 perusahaan IPO dengan dana terkumpul senilai 3,3 miliar dolar AS pada periode sama tahun sebelumnya.
Dengan tambahan sebanyak 36 perusahaan yang menggelar IPO per 8 November 2024, saat ini perusahaan tercatat di BEI total ada sebanyak 939 perusahaan, sedangkan pada akhir 2023 sebanyak 903 perusahaan.
Per 8 November 2024, masih ada 29 perusahaan berada dalam antrean untuk melangsungkan IPO di pasar modal Indonesia, sebagaimana disampaikan Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna.
Dalam antrean IPO, mayoritas perusahaan dengan aset skala besar di atas Rp250 miliar sebanyak 17 perusahaan, sebanyak 10 perusahaan beraset skala menengah antara Rp50 miliar sampai Rp250 miliar, serta dua perusahaan beraset skala kecil di bawah Rp50 miliar.
Semarak IPO 2025
Mulai terbentuknya stabilitas politik pasca-pelantikan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, diharapkan akan meningkatkan antusiasme perusahaan untuk melangsungkan IPO di pasar modal Indonesia pada tahun depan 2025, ucap Direktur Utama BEI Iman Rachman.
Ditambah lagi, mulai stabilnya pertumbuhan ekonomi nasional akan meningkatkan ketertarikan pelaku pasar domestik maupun asing untuk berinvestasi pada perusahaan prospektif yang akan melangsungkan IPO pada tahun 2025.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia berdasarkan nilai Produk Domestik Bruto (PDB) tercatat sebesar 4,95 persen (yoy) pada kuartal III- 2024.
Pada tahun depan, BEI menargetkan ada sebanyak 66 perusahaan yang melakukan pencatatan saham perdana atau IPO di pasar modal Indonesia.
Seiring target itu, BEI akan terus melakukan pendekatan (approach) terhadap perusahaan-perusahaan untuk menggelar IPO di pasar Indonesia, baik perusahaan swasta maupun perusahaan badan usaha milik negara (BUMN).
BEI pun telah menjalin kerja sama dengan Kementerian BUMN, program Create IPO bersama Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf), serta program Small and Medium Enterprises (SME) IPO dengan Kementerian Koperasi dan UKM.
Tidak hanya itu, dalam Rencana Kerja dan Anggaran Tahunan (RKAT) 2025, BEI akan berfokus terhadap pendalaman pasar melalui produk dan layanan baru, serta perluasan pasar pada derivatif keuangan.
BEI akan berfokus dalam pengembangan sejumlah Rencana Kerja (RK) yang bertujuan untuk meningkatkan likuiditas perdagangan, meningkatkan pelindungan investor, penyediaan layanan data yang sesuai kebutuhan pelanggan, hingga penyempurnaan teknologi.
Di sisi lain, BEI menetapkan proses seleksi yang ketat untuk menjaring perusahaan berkualitas dalam proses IPO, dimana harus melewati tahap- tahap yang telah ditetapkan diantaranya aspek penting adalah Environmental, Social, and Governance (ESG)
Pada 2024, rasio kelolosan perusahaan yang berhasil melangsungkan IPO di BEI sebesar 70 persen dari total pendaftar, artinya yang sebesar 30 persen tidak berhasil memenuhi seluruh persyaratan yang telah ditetapkan.
Dengan stabilitas politik, stabilitas pertumbuhan ekonomi, serta pelonggaran kebijakan moneter bank sentral pada tahun depan, potensi perusahaan-perusahaan baik swasta atau BUMN untuk melangsungkan IPO di pasar modal Indonesia semakin besar.
Bukan hal mustahil rekor jumlah IPO terbanyak sepanjang sejarah Indonesia sebanyak 79 perusahaan dengan total dana dihimpun senilai Rp54,14 triliun pada tahun 2023 lalu dapat terlewati pada pemerintahan baru di tahun 2025 mendatang.
Di sisi lain, BEI tetap tidak mengesampingkan kualitas dengan menetapkan syarat- syarat ketat bagi perusahaan yang akan melangsungkan IPO, terutama terkait dengan aspek Environmental, Social, and Governance (ESG).
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2024