Dalam paparan Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo, Polri berkomitmen menindak tegas pelaku kejahatan narkoba dan mengusut tuntas jaringan narkoba sampai ke akarnya.
Sejak tahun 2020 sampai 2024, Polri telah mengamankan 264.188 tersangka terkait narkoba. Dari ratusan ribu kasus itu, Polri telah menyita barang bukti narkoba senilai Rp31,8 triliun dan menyelamatkan 262 juta jiwa dari bahaya barang terlarang itu.
Namun, pemberantasan narkoba tampaknya belum kunjung tuntas.
Berdasarkan data Direktorat Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri pada 2024, jumlah kasus penyalahgunaan narkoba yang paling tinggi berada di Jakarta. Hal itu semestinya tidak boleh terjadi karena Jakarta masih menjadi pusat peradaban Indonesia dengan segala kelengkapan fasilitas.
Sebetulnya, penegak hukum tidak diam atas kondisi tersebut karena pada 2022, Kepolisian Daerah Metro Jaya sempat memberantas peredaran narkoba di Kampung Ambon, Jakarta Barat. Saat itu, para gembong narkoba ditangkap hingga membuat kampung itu bersih dari narkoba.
Namun, Anggota Komisi III DPR RI Hasbiallah Ilyas mengatakan kini peredaran narkoba berpindah dari Kampung Ambon ke Kampung Bahari, Jakarta Utara. Bahkan, jual beli narkoba di kampung tersebut seolah merupakan fenomena biasa.
Dia pun menduga ada oknum aparat penegak hukum yang terlibat peredaran narkoba di Kampung Ambon.
Dengan informasi tersebut, aparat penegak hukum seharusnya langsung bergerak memberantas narkoba. Jika penyebaran narkoba di Jakarta bisa ditangani, maka seharusnya seluruh daerah di Indonesia pun bisa tertangani.
Kejahatan SDA
Dalam berbagai kesempatan, Presiden Prabowo menyinggung bahwa korupsi jadi penyebab kebocoran anggaran atau kekayaan negara. Terjadinya kolusi di antara para pejabat di semua tingkatan yang menyebabkan negara merugi, kata Presiden, adalah tindakan yang tidak patriotik.
Selain kebocoran dari sektor keuangan atau anggaran, dugaan kebocoran pun terjadi di sektor energi. Padahal Presiden Prabowo memiliki visi besar untuk membuat Indonesia swasembada energi.
Anggota Komisi III DPR RI Hinca Pandjaitan pun mengungkapkan ada potensi kebocoran minyak yang terjadi di Hulu Rokan. Dia sempat melaporkan hal itu kepada aparat penegak hukum di wilayah tersebut, tetapi belum ditindaklanjuti.
Dia menjelaskan bahwa beberapa waktu lalu, Presiden Ke-7 Republik Indonesia Joko Widodo sempat menargetkan Hulu Rokan untuk memproduksi minyak 210 ribu barel per hari, tetapi hanya mampu sekitar 160 ribu barel per hari.
Tidak tercapainya target tersebut semestinya diduga oleh penyidik bahwa ada potensi dugaan penyalahgunaan. Jangan sampai hal itu menjadi hambatan bagi upaya swasembada energi.
Polri pun mencatat bahwa sepanjang 2020--2024 telah menindak 2.690 kasus yang berkaitan dengan tindak pidana minyak dan gas (migas). Dari penindakan itu, keuangan negara yang berhasil diselamatkan senilai Rp67,75 miliar dan potensi yang bisa diselamatkan sebesar Rp6,3 miliar.
Kejahatan mafia tanah
Komisi III DPR RI juga getol mengundang langsung pihak-pihak yang bersengketa mengenai urusan pertanahan, mulai dari permasalahan sengketa lahan yang menimpa masyarakat awam, mantan pejabat, hingga lahan sekolah.
Komitmen untuk menuntaskan masalah mafia tanah tentu bukan hal yang baru dicetuskan. Pasalnya, masalah mafia tanah berpotensi melibatkan aparat penegak hukum yang memiliki kekuatan.
Menteri Agraria dan Tata Ruang Nusron Wahid mengungkapkan bahwa mafia tanah itu biasanya melibatkan tiga unsur, yakni oknum orang dalam, pemborong tanah, hingga oknum pendukung seperti kepala desa, notaris, dan pengacara.
Di samping itu, Anggota Komisi III DPR RI Nasir Djamil mengatakan bahwa hampir 99 persen mafia tanah menggunakan "tangan-tangan" di pengadilan. Mereka melakukan itu untuk merampas tanah yang dimiliki rakyat.
Yang mengejutkan, Nasir pun mengungkapkan bahwa hal itu diungkapkan oleh Kapolda Sumatera Selatan. Bahkan, kata dia, rumah dinas Kapolda Sumatera Selatan pun hampir "hilang" atas kerja-kerja mafia tanah.
Fenomena itu pun memiliki arti bahwa mafia tanah bisa menyerang siapa pun, baik rakyat kecil, kelas menengah, bahkan hingga pejabat sekalipun.
Pemberantasan beragam kedok kejahatan yang bisa merugikan negara itu tentu saja tergantung pada kinerja para aparat penegak hukum, baik polisi, jaksa, penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dan lembaga-lembaga terkait.
Kolaborasi antara para penegak hukum menjadi keharusan untuk membereskan beragam tindak pidana yang memiliki segudang kompleksitas.
Walaupun wewenang penegakan hukum bisa dikomandoi oleh kementerian koordinator, Komisi III DPR RI berperan untuk membuka sumbatan-sumbatan komunikasi antara para penegak hukum.
Dengan fungsi pengawasan yang melekat, lembaga legislatif sudah saatnya menunjukkan tajinya untuk membenahi dan memperkuat penegakan hukum dengan asas keadilan tanpa intervensi.
Editor: Achmad Zaenal M
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024