Aceh (ANTARA) - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) optimistis Indonesia mampu menjalankan amanat Deklarasi Aceh, hasil dari pertemuan Second UNESCO-IOC Global Tsunami Symposium yang digelar di Banda Aceh.
Global Simposium yang berlangsung pada 10-14 November 2024 ini digelar sekaligus memperingati 20 tahun tragedi tsunami Aceh 2004 dengan tema “Reflection and Way Forward”, dan memiliki fokus pada penguatan strategi mitigasi bencana tsunami berbasis teknologi dan kesiapsiagaan masyarakat.
"Kita percaya diri karena kita belajar dari pengalaman tsunami 20 tahun lalu untuk meningkatkan kesiapsiagaan terhadap tsunami yang juga dibahas oleh para ahli dalam forum ini," kata Deputi Geofisika BMKG Nelly Florida Riama saat ditemui usai penutupan simposium di Aceh, Kamis.
Nelly menjabarkan bahwa membaiknya sistem peringatan dini bahaya gempa dan tsunami di Indonesia merupakan bagian dari komitmen pemerintah menciptakan pengurangan risiko bencana.
BMKG mencatat saat ini sudah hampir 600 unit alat sensor gempa dan tsunami tersebar di seluruh wilayah rawan Indonesia. Jumlah tersebut jauh bertambah dibandingkan tahun 2004 yang mana tidak hanya Indonesia tapi juga di dunia baru ada satu alat seismik.
Menurut dia, keberadaan sensor tersebut sangat penting bukan hanya untuk Indonesia, tapi juga bagi negara yang terdampak tsunami 20 tahun lalu.
Hal ini dikarenakan Indonesia sudah mampu memberikan peringatan dini tsunami kurang dari tiga-lima menit setelah gempa terjadi kepada masyarakat di seluruh daerah, termasuk kurang dari 10 menit ke sejumlah negara kawasan Asia Pasifik.
Baca juga: Warga Desa Mon Ikeun Aceh lebih siap hadapi ancaman tsunami masa depan
Baca juga: Warga Aceh tak lagi bangun rumah bertingkat atasi trauma masa lalu
Ia menambahkan, selain itu Indonesia juga sudah memiliki ratusan desa atau komunitas masyarakat yang tangguh menghadapi ancaman bencana. Adapun 22 di antaranya bahkan sudah dinyatakan berkompeten sebagai desa atau komunitas yang siaga tsunami di dunia dari UNESCO.
Hanya saja, kata dia, BMKG menilai masih ada beberapa tantangan yang harus dihadapi Indonesia supaya upaya pengurangan risiko bencana gempa dan tsunami ini berjalan maksimal menjangkau seluruh masyarakat di Indonesia.
Tantangan tersebut juga menjadi perhatian khusus yang dicantumkan dalam Deklarasi Aceh oleh para ilmuwan dan ahli geofisika, konstruksi, teknologi rekayasa hingga oceanografi pada forum Second UNESCO-IOC Global Tsunami Symposium.
Ia mencontohkan salah satunya seperti memastikan konstruksi bangunan rumah masyarakat tahan terhadap guncangan gempa atau hempasan tsunami, dan juga kesiapan masyarakat dalam merespons peringatan dini bahaya bencana hingga menyempurnakan sistem peringatan dini bencana tsunami itu sendiri.
"Demikian beberapa hal-hal baru dari forum ini yang masih harus kita perlu pelajari lagi tapi (kita optimistis) ya, melihat apa yang sudah dilakukan sampai saat ini bersama-sama dengan semua pihak," kata Nelly yang juga ahli oseanografi dari World Meteorological Organization (WMO) ini.
Second UNESCO-IOC Global Tsunami Symposium merupakan acara yang diinisiasi UNESCO-IOC bersama Pemerintah Indonesia melalui BMKG untuk penguatan strategi mitigasi bencana tsunami berbasis teknologi dan masyarakat. Penguatan strategi mitigasi ini bukan hanya untuk Indonesia tetapi seluruh negara di empat samudra; Samudra Hindia, Pasifik, Karibia, Mediterania dan Laut Utara.
Sebanyak 1.000 peserta termasuk ilmuwan, ahli kebencanaan dari 54 negara di antaranya Jepang, Amerika Selatan, Spanyol, Italia, India, Bangladesh, China, India dan komunitas masyarakat sadar bencana nasional berkumpul dan terlibat aktif dalam simposium ini.
Baca juga: Deklarasi Aceh tegaskan komitmen bersama mitigasi tsunami global
Baca juga: BMKG Aceh perkenalkan alat peringatan dini tsunami otomatis
Pewarta: M. Riezko Bima Elko Prasetyo
Editor: Riza Mulyadi
Copyright © ANTARA 2024