partai politik dan penyelenggara pemilu belum menunjukkan komitmennya mewujudkan affirmative action bagi perempuan dalam kontestasi politik 2024Jakarta (ANTARA) - Sistem perpolitikan di Indonesia masih cenderung pragmatis sehingga hanya caleg bermodal besar yang berpotensi terpilih. Kalaupun tak bermodal minimal menjadi publik figur sebagai salah satu modal.
Tidak peduli apakah kompeten, tidak peduli laki-laki atau perempuan, tapi siapa yang punya power, yang punya uang, yang punya modal sebagai publik figur ya itu yang berpotensi menang.
Literasi politik masyarakat sebagai pemilih juga masih rendah sehingga mudah terkena bujukan politik uang, termasuk kaum perempuan sendiri yang masih belum sadar perlunya wakil mereka untuk memperjuangkan hak-hak perempuan.
Saat ini isu-isu perempuan yang menjadi visi misi yang diusung caleg masih seputar isu gender di ranah domestik saja dan kurang mengangkat isu-isu terkait kesetaraan gender misalnya akses perempuan ke pekerjaan yang layak, akses perempuan ke pendidikan,
Bahkan menurut dia, isu-isu perempuan kerap dijadikan caleg sebagai pemanis untuk meraup suara masyarakat perempuan.
Padahal pemerintah melihat bahwa perempuan mempunyai peran yang amat penting dalam mengambil keputusan politik sekaligus punya kapasitas yang sama dalam mengemban amanat yang diberikan.
Bahkan dalam Undang-Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017, di pasal 245 disebutkan keterwakilan perempuan di parlemen paling sedikit paling sedikit sebesar 30 persen.
Namun, angka 30 persen itu masih belum terwujud karena berdasarkan hasil Pemilu DPR 2024 saja, tercatat bahwa keterwakilan perempuan baru menyentuh angka 22,1 persen. Walaupun capaian itu lebih tinggi 1,6 persen dibandingkan hasil Pemilu di tahun 2019.
Kini, pada tanggal 27 November 2024, Tanah Air bakal menggelar Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) secara serentak. Bisa dibayangkan, betapa keterwakilan perempuan menjadi salah satu dari sekian banyak isu yang disorot oleh banyak pihak.
Akses luas bagi perempuan
Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) Giwo Rubianto Wiyogo menekankan bahwa pada era pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka harus memberikan perhatian lebih pada perempuan dan memberikan akses yang luas bagi perempuan untuk berkiprah.
Ia berharap para perempuan yang ditunjuk dalam jajaran kabinet diharapkan dapat mengatasi sejumlah permasalahan yang masih menghantui perempuan dan anak.
Misalnya seperti menekan angka stunting dan Angka Kematian Ibu (AKI), perempuan rentan jadi korban kekerasan, eksploitasi, diskriminasi, angka putus sekolah yang kian meningkat hingga aksesibilitas perempuan mendapat pendidikan, kesehatan dan penggunaan teknologi yang belum merata.
Kesetaraan bukan hanya tentang memberikan kesempatan yang sama dalam politik, tetapi juga tentang memastikan bahwa hak-hak perempuan dihargai dan dilindungi, serta memastikan perempuan memiliki suara yang setara dalam setiap keputusan yang mempengaruhi hidup mereka.
Layaknya doa yang didengar, nampaknya harapan-harapan itu dapat diwujudkan dalam Pilkada Serentak 2024.
Pilkada tahun ini dinilai akan jadi panggung demokrasi yang lebih menarik dari pemilihan sebelumnya. Bagaimana tidak? makin banyak perempuan yang dengan lantang menyatakan ingin maju duduk di pemerintahan guna membangun negeri ke arah yang lebih baik.
Sebut saja, Pilkada Jawa Timur yang memiliki tiga calon gubernur perempuan sekaligus. Ketiganya adalah Khofifah Indar Parawansa, Tri Rismaharini dan Luluk Nur Hamidah yang pengalamannya tak perlu diragukan.
Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menilai kehadiran ketiga tokoh tersebut dapat menjadi titik balik yang baik dalam kiprah perempuan dalam sektor politik, meski proporsi keterwakilan perempuan masih jauh dari 30 persen kuota yang ada.
Fenomena di Pilkada Jatim itu memang belum bisa membuat bangga hati karena faktanya di lapangan, masih banyak tantangan yang dihadapi seperti kehadiran perempuan sebagai calon belum merata di berbagai daerah.
Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Veryanto Sitohang mengatakan partai politik dan penyelenggara pemilu belum menunjukkan komitmennya mewujudkan affirmative action bagi perempuan dalam kontestasi politik 2024.
Tantangan lainnya berasal dari adanya anggapan bahwa seakan perempuan tidak layak menjadi pemimpin, termasuk peran domestik yang dibebankan kepada perempuan.
Veryanto sangat menyayangkan terjadinya anggapan tersebut karena keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan sangat penting agar masalah-masalah terkait dengan rakyat khususnya kelompok marginal seperti kekerasan terhadap perempuan yang terus meningkat, pembangunan yang belum merata, kebijakan yang tidak inklusif diharapkan dapat diatasi melalui kepemimpinan perempuan.
Perlu meyakinkan semua pihak bahwa perempuan-perempuan yang maju sebagai calon kepala daerah memiliki kapasitas yang setara dengan calon laki-laki.
Dalam menjalankan agenda pemerintahan, jangan sampai keterwakilan perempuan mengalami penurunan, sebab akan berdampak pada semakin sulitnya upaya mengatasi isu-isu perempuan dan anak.
Kapasitas kepemimpinan
Sebenarnya ada banyak cara untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam dunia politik, dan yang paling utama adalah peningkatan kapasitas kepemimpinan dari setiap figur perempuan yang terjun dalam dunia politik.
Dimulai dari pribadi masing-masing, tiap calon dapat mempersiapkan riwayat pendidikan yang baik, pengalaman berorganisasi, mengikuti setiap pengkaderan dari karir politiknya dan berani untuk populer dengan menunjukkan kiprah sebagai pembela kaum yang lemah.
Pendidikan formal membantu para calon memiliki landasan pengetahuan yang kuat tentang berbagai isu, kebijakan, dan tata kelola pemerintahan. Sementara pendidikan informal seperti pelatihan kepemimpinan, seminar, pengalaman kerja dan membantu mengembangkan keterampilan praktis yang sangat diperlukan di dunia politik.
Pendidikan itu juga harus diimbangi dengan keterampilan berkomunikasi yang baik dan mampu memanfaatkan momentum untuk meningkatkan citra dirinya.
Politik adalah aspek kehidupan yang berbicara soal penyampaian ide, mendengarkan dan memperjuangkan aspirasi rakyat serta membangun hubungan dengan semua kekuatan sosial politik.
Sehingga untuk menjadi kader politik yang baik harus dibarengi kemampuan bernegosiasi, memimpin tim, serta membuat keputusan yang bijak pada momentum yang tepat.
Mengingat pemimpin politik harus bisa menghadapi tantangan dan tekanan, maka kemampuan untuk mengatasi tekanan opini dan kritik menjadi salah satu modal meningkatkan ketahanan berpolitik.
Salah satu yang menjadi sorotan saat ini adalah sikap kenegarawanan dan etika politik sehingga setiap kader perempuan harus mampu mengedepankan dua faktor penting itu sehingga kemudian terbentuk opini bahwa kader perempuan lebih negarawan dan beretika maka secara keseluruhan akan mengangkat derajat kader perempuan.
Kesadaran petinggi parpol
Pemain utama dalam demokrasi adalah partai politik sehingga tanpa kesadaran para petinggi parpol untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam struktur parpol dan pencalonan kader perempuan maka mustahil angka 30 persen dapat terwujud.
Partai politik juga dinilai perlu melakukan pendidikan politik secara aktif dan membuka akses seluas-luasnya terhadap perempuan. Kritik terhadap politik dinasti untuk menjangkau perempuan juga sebaiknya menjadi bahan evaluasi.
Banyak perempuan-perempuan berpotensi di akar rumput dan di struktur terbawah sehingga mereka layak diberikan kesempatan dan dijangkau dengan cara-cara inklusif.
Menurut Titi Anggraini, supaya penyelenggaraan Pilkada terbebas dari diskriminasi baik terhadap perempuan sebagai peserta maupun pemilih, Pemerintah Indonesia harus memegang prinsip dasar The Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW), melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 yang membahas soal pengesahan konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan.
Konvensi CEDAW menegaskan diskriminasi terhadap perempuan adalah pelanggaran HAM. Dan perempuan itu memiliki hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Semuanya dapat dinikmati oleh perempuan atas dasar persamaan, kesetaraan, dan keadilan, dengan laki-laki, dan konvensi juga mewajibkan negara untuk melindungi, memajukan, dan memenuhi hak asasi perempuan.
Dari sisi pemerintah, Plt. Sekretaris Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) Titi Eko Rahayu mengakui bahwa partisipasi perempuan masih minim di Pilkada sehingga perlu kampanye secara terus menerus agar perempuan mendapat tempat yang setara di dunia politik.
Momentum Pilkada Serentak 2024 harus dijadikan kesempatan kontestan perempuan untuk menampilkan gagasan brilian tanpa melupakan janji kampanyenya.
Makin terealisasi gagasan brilian dan janji kampanyenya, orang makin percaya jika kontenstan perempuan lebih mampu menjadi pemimpin.
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2024