Jakarta (ANTARA) -

Memiliki keturunan merupakan suatu hal yang dinantikan banyak pasangan ketika mereka memasuki kehidupan berumah tangga. Bahkan, beberapa dari mereka rela merogoh kocek yang sangat dalam agar bisa memiliki buah hati.

Namun, data terbaru yang dihimpun Badan Pusat Statistik tahun 2023 menunjukkan sekitar 8,2 persen atau sekitar 71 ribu perempuan justru tidak menginginkan ada anak atau keturunan dalam pernikahannya.

Psikolog klinis lulusan Universitas Indonesia Nirmala Ika M.Psi, melihat data itu sebagai satu fenomena yang sekarang cukup banyak dianut pasangan muda baru menikah dengan alasan dan berbagai faktor yang melatarbelakanginya.

Alasan yang banyak menjadi dasar adanya keputusan childfree adalah tuntutan ekonomi dan sosial yang makin berat seperti biaya pendidikan, kondisi masyarakat dan lingkungan yang dinilai kian tidak membaik sehingga pasangan yang baru menikah tidak ingin ada beban tambahan yang makin memperburuk keadaan ekonominya. Atau bisa pula sekadar tidak ingin anak yang nanti diasuhnya mengalami hidup yang tidak baik di masa depan.

Namun Nirmala mendapati temuan adanya trauma pengasuhan atau ada tindakan buruk dalam kehidupan keluarganya yang tidak ingin mereka turunkan ke anaknya kelak.

Secara logis, pasangan yang memutuskan tidak memiliki anak atau childfree sudah memiliki pandangan lebih terbuka terhadap perlunya memikirkan kesehatan mental, terlebih jika memiliki trauma masa kecil yang tidak mungkin bisa sembuh dalam waktu cepat.

Oleh karena itu, pilihan tidak memiliki anak bukan merupakan keputusan egois atau selfish, namun lebih memikirkan kesehatan fisik dan mental anak yang nanti hadir. Mereka khawatir-- sebagai orang tua yang memiliki trauma-- tidak bisa memenuhi kebutuhan anak secara baik.

Pertimbangan lain pasangan memilih untuk childfree, bisa pula didasari alasan medis, misal, umur laki-laki dan perempuannya yang sudah tidak muda atau tidak sehat secara fisik untuk hamil dan melahirkan, atau umur pernikahan yang sudah terlalu lama dan sudah terlanjur nyaman tanpa kehadiran anak.

Konten-konten di media sosial tidak berarti menjadi pemicu di mana keputusan childfree dibuat. Adanya media sosial lebih pada tempat para pasangan menunjukkan sikapnya dengan lebih percaya diri bahwa mereka memilih tidak memiliki anak dalam pernikahannya. Bagi penonton atau pengikut yang melihat konten childfree juga menganggapnya sebagai pengakuan bahwa hal ini sesuatu yang lumrah dilakukan, yang membuat keputusan mereka menjadi makin bulat.

Apa pun, keputusan childfree tetap harus dilakukan bersama-sama dengan pasangan dan atas kesepakatan bersama. Hal ini juga untuk menghindari adanya konflik dan meminimalisasi kesehatan mental yang dipengaruhi dari pihak luar yang masih terpaku budaya bahwa dalam pernikahan harus memiliki keturunan.

Keputusan yang diambil berdua ini juga untuk menguatkan satu sama lain jika ada pihak luar yang berusaha mematahkan anggapan bahwa pilihan childfree adalah sesuatu yang salah dan berdosa.

Yang menjadi masalah justru ketika keputusan tidak memiliki anak hanya ada pada salah satu pasangan, bukan berdasarkan keputusan bersama. Inilah yang justru akan menimbulkan masalah dalam pernikahan karena berarti tidak ada satu visi yang sama antara suami dan istri.

Ujungnya bisa jadi masalah ketidakpuasan dan ketidakbahagiaan dalam pernikahan yang bisa berujung perceraian. Selain itu juga akan ada salah satu pihak yang disalahkan dan dalam hal ini masih banyak pihak perempuan yang disalahkan dalam keputusan ini.

Pada akhirnya Nirmala menegaskan bahwa keputusan childfree harus betul-betul diyakinkan sampai sudah tidak ada lagi pikiran untuk masih mengusahakan memiliki keturunan dari salah satu pihak. Hal yang juga harus dipastikan adalah pernikahannya harus tetap berarti bagi kedua pihak meskipun tidak memiliki anak.

Mereka harus terus membangun cinta dalam pernikahan agar akhirnya tidak berjalan sendiri-sendiri karena tidak ada suatu ikatan yang merekatkan seperti anak.

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024