Aceh (ANTARA) - Deklarasi Aceh menegaskan komitmen global dalam mendukung pembangunan ketahanan bencana gempa-tsunami berkelanjutan bagi negara di sekitar empat samudera yang berbasiskan inovasi teknologi dan mitigasi kemasyarakatan dalam 10 tahun ke depan.
"Deklarasi tersebut dilahirkan atas kesepakatan bersama. Lebih kurang itu inti hasilnya dari pembahasan bersama para ahli," kata Chair of The Programming Committee Second UNESCO-IOC Global Tsunami Symposium, Harkunti P. Rahayu, saat ditemui usai penutupan simposium di Aceh, Kamis.
Menurut Harkunti, prinsip keberlanjutan dalam mitigasi bencana sangat penting untuk memastikan pembangunan yang mampu bertahan terhadap risiko bencana serta mengurangi dampak buruknya.
Dalam simposium ini, bencana gempa dan tsunami Samudera Hindia 2004 di Aceh menjadi latar belakang diskusi peserta dari 54 negara yang hadir.
"Tragedi tsunami Aceh adalah panggilan bagi dunia. Sejak saat itu, Aceh dan Indonesia menjadi pusat perhatian dan penelitian dunia," ujar Harkunti yang didampingi Deputi Geofisika BMKG, Nelly Florida Riama.
Baca juga: BMKG gelar simulasi tsunami di Aceh Besar
Baca juga: Ahli konstruksi dunia jajaki pembangunan shelter evakuasi di Aceh
Ia menjabarkan bahwa di sela-sela kegiatan para ahli dari berbagai negara tersebut diajak melihat bagaimana masyarakat Aceh bersama pemerintah dan lembaga dunia serius membangun ketahanan dan memperkuat upaya mitigasi dengan mengutamakan pengurangan risiko bencana di tingkat nasional dan lokal.
Adapun beberapa langkah yang telah diterapkan mencakup melengkapi sistem peringatan dini, pemanfaatan teknologi inovatif, serta peningkatan kapasitas komunitas masyarakat desa menjadi siaga bahaya tsunami. Hal ini sebagaimana yang dilakukan di Desa Mon Ikeun dan Desa Lamkruet di Kecamatan Lhoknga, Aceh Besar.
Bahkan, kata dia, para ahli berniat membangun shelter evakuasi di kedua desa tersebut setelah mereka datang melihat langsung dan menganalisis data historis gempa dan tsunami di sana.
Pada tanggal 26 Desember 2004, gempa bumi dengan kekuatan 9,1 magnitudo mengguncang Aceh dan memicu tsunami lebih kurang setinggi 27 meter, yang menghancurkan banyak bangunan di jalur lintasannya termasuk kedua desa pesisir barat Aceh tersebut, sehingga banyak warga menjadi korban karena tidak ada tempat berlindung.
"Konstruksi masuk juga jadi komponen yang disepakati dalam kesepakatan tadi, untuk mitigasi ke depan. Dengan begitu supaya nanti masyarakat tidak lagi berlindung di bukit yang membutuhkan waktu lama," ujarnya.
Pihaknya berharap kesepakatan yang lahir dari simposium ini akan mendorong penerapan komponen mitigasi yang efektif tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di negara-negara yang berada di kawasan Samudera Hindia, Pasifik, Karibia, dan Laut Utara.
Baca juga: Warga Desa Mon Ikeun Aceh lebih siap hadapi ancaman tsunami masa depan
Baca juga: BMKG Aceh perkenalkan alat peringatan dini tsunami otomatis
Pewarta: M. Riezko Bima Elko Prasetyo
Editor: Riza Mulyadi
Copyright © ANTARA 2024