Jakarta (ANTARA) - Mentari pagi di akhir pekan mulai beranjak menyinari Bumi Flobamora. Masyarakat di Desa Lewolaga, Titehena, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, tampak memulai rutinitas hariannya.
Umumnya, warga asli yang menempati daerah tersebut tengah bersiap-siap untuk mengikuti ibadah pagi di Gereja Katolik St. Maria Immaculata, yang terletak persis di tepi Jalan Raya Trans Flores.
Namun, pada pagi hari itu tidak semua orang yang berada di desa tersebut bisa mengikuti proses ibadah. Mereka tidak semuanya memiliki pakaian bersih yang mereka nilai pantas digunakan untuk beribadah.
Sebab, Desa Lewolaga menjadi salah satu lokasi posko pengungsian terpadu yang disiapkan oleh pemerintah bagi para penyintas bencana erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki. Banyak di antara para pengungsi yang belum berkesempatan untuk mengikuti sesi ibadah pada pagi hari itu.
Salah satunya adalah Hugo Puka (53), seorang pengungsi sekaligus Kepala Suku/Marga Puka yang pada saat ditemui hendak kembali ke kediamannya di Desa Nurabelen, Ilebura, Flores Timur, guna mengecek keadaan sejumlah warga yang tengah berjaga di desa tersebut.
Pada saat itu kondisi desa sedang sepi, karena Desa Nurabelen merupakan salah satu dari sejumlah desa yang berada dalam radius 7 kilometer dari Puncak Gunung Lewotobi Laki-laki, di mana sebanyak 828 warga desa tersebut diwajibkan untuk mengungsi ke Desa Lewolaga, untuk mencegah potensi terjadinya hal yang lebih buruk. Hanya sejumlah warga yang berjaga di Desa Nurabelen.
Sumpah janji
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyebut Gunung Lewotobi, adalah gunung berapi kembar yang mempunyai dua puncak, yakni Lewotobi Laki-Laki dan Lewotobi Perempuan. Puncak Gunung Lewotobi Perempuan lebih tinggi daripada Gunung Lewotobi Laki-Laki. Gunung Lewotobi Laki-Laki memiliki ketinggian 1.584 meter di atas permukaan laut (mdpl). Sementara Gunung Lewotobi Perempuan memiliki ketinggian 1.703 mdpl.
Menurut cerita Hugo, para warga desa sejak zaman nenek moyang mereka telah berjanji dan bersumpah bahwa mereka tidak akan meninggalkan desa tersebut. Bagi mereka, mengingkari hal itu merupakan salah satu bentuk pengingkaran terhadap leluhur yang diyakini telah menjaga mereka.
Suku Puka dianggap sebagai tuan tanah atau "pemilik" Gunung Lewotobi. Ritual adat Tuba Ile untuk menghargai gunung itu digelar setiap tahun secara rutin. Ritual adat ini sudah dijalankan selama ratusan tahun. Ritual itu biasanya juga bertujuan untuk menyampaikan permintaan maaf atas ulah manusia yang mengusik ketentraman alam.
Mereka meyakini bahwa setiap ritual adat yang mereka lakukan merupakan upaya dalam mengimplementasikan Liko lapak dalam keseharian mereka. Liko lapak memiliki arti saling menjaga, merawat, dan melindungi.
Sebagian masyarakat meyakini bahwa terjadinya erupsi dahsyat Gunung Lewotobi Laki-laki yang memakan korban jiwa itu belakangan ini disebabkan oleh adanya oknum yang mencoba "mengusik" Gunung Lewotobi Laki-laki sehingga menjadi murka. Hugo mengungkapkan, banyak di antara masyarakat yang sejatinya meyakini bahwa Tuhan bersama leluhurnya sudah melindungi mereka dari marabahaya. Hal ini dibuktikan dengan nihilnya jejak erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki yang mencapai desa mereka, meskipun wilayah mereka berada pada zona merah.
Namun demikian, sebagai seorang tokoh masyarakat, ia harus arif dan memikirkan segala sesuatunya untuk kebaikan bersama. Dia selalu berkoordinasi dengan Kepala Desa Nurabelen, Lambertus Bura Puka dan Kepala Kampung Siaga Bencana Nurabelen, Niko Kwuta. "Kita semua yakin dengan adat, tetapi adat tidak bisa membatalkan kehendak Tuhan. Bencana tetaplah bencana, kita punya keyakinan, ya tetap keyakinan," tegas Hugo.
Oleh karena itu, kesiapsiagaan terhadap bencana juga terbentuk di Desa Nurabelen. Sebelum adanya instruksi untuk diwajibkan mengungsi ke Desa Lewolaga, Titehena, Kab. Flores Timur, aparat desa setempat sudah melakukan langkah sejak awal dengan mengevakuasi warganya ke balai desa. Aparat Desa Nurabelen juga telah menyediakan sejumlah kendaraan untuk evakuasi masyarakat di balai desa.
Pada saat erupsi susulan yang terjadi pada Jumat (8/11), evakuasi dapat secara cepat dapat dilakukan ke pusat Kecamatan Ilebura, untuk kemudian mendapatkan evakuasi lanjutan dari Tim Pencarian dan Penyelamatan (SAR) gabungan. Tim SAR gabungan yang bertugas mengapresiasi upaya tersebut.
Hugo selaku tokoh masyarakat juga menyambut baik upaya relokasi warga oleh pemerintah. Upaya tersebut merupakan bentuk kehadiran pemerintah untuk membuat warga setempat menjadi nyaman dan tidak dibayang-bayangi rasa takut akan erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki yang bisa terjadi sewaktu-waktu.
"Masyarakat pasti pindah kalau sudah disiapkan (rumah penggantinya). Tapi yang perlu ditekankan bahwa ritual dan adat ini tidak bisa dilepas. Jadi, program pemerintah tetap kita ikuti, tapi sewaktu-waktu kita akan kembali untuk melakukan ritual yang telah menjadi janji dan sumpah kami, kemudian akan pulang kembali di wilayah yang baru," kata Hugo.
Presiden Prabowo Subianto telah memerintahkan kepada para jajarannya untuk bekerja secara serius dalam upaya penanggulangan bencana erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki.
Menindaklanjuti hal itu, Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) Nusron Wahid telah menyiapkan seluas 50 hektare tanah untuk relokasi korban bencana Letusan Gunung Lewotobi Laki-laki. Ia juga memastikan bahwa seluruhnya telah disetujui oleh para pemuka adat.
Sementara itu, Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait menyampaikan pemerintah akan mendirikan sebanyak 1.100 rumah untuk relokasi korban erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki di atas lahan seluas 50 hektare tersebut. Pembangunan hunian bagi warga yang terdampak erupsi juga menggunakan teknologi rumah tahan gempa.
Masyarakat Desa Nurabelen di kaki Gunung Lewotobi Laki-laki memang tetap setia menjaga nilai-nilai tradisi melalui ritual yang diwariskan leluhur. Namun demikian, mereka juga tidak ragu menerima dukungan pemerintah untuk relokasi ke tempat yang lebih aman. Mereka tak hanya menjaga warisan leluhur, tapi juga melindungi kehidupan generasi mendatang dari ancaman alam yang tak terduga.
Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2024