Pahala mengatakan subsidi yang berjalan saat ini adalah subsidi produsen sehingga ada dua harga gas di pasar, harga subsidi dan non-subsidi. Dia kemudian menyarankan agar hanya ada satu harga gas di pasar dan masyarakat yang menjadi target subsidi menerima subsidi dalam bentuk bantuan langsung tunai.
"Nah, orang-orang yang mau dituju ini kasih uang saja, ini bedanya subsidi produsen sama subsidi konsumen. Kalau konsumen itu orangnya sudah kita tuju, kita kasih uang uang supaya dia mampu membeli dengan harga pasar," kata Pahala saat dikonfirmasi di Jakarta, Kamis.
Pahala menilai pola subsidi dengan mendata dan membatasi siapa saja yang bisa membeli LPG dengan harga subsidi kurang efektif, karena tidak ada pengawasan saat proses jual beli dengan masyarakat konsumen gas subsidi.
Lebih lanjut dia mengatakan pada tahun 2019 ada kajian soal pendataan pembeli gas LPG bersubsidi. Saat itu produsen diminta mencatat siapa saja pembeli gas LPG bersubsidi untuk memastikan pembelinya adalah memang konsumen yang dituju, yakni masyarakat miskin.
Namun muncul sejumlah temuan soal data pembeli gas bersubsidi yang tidak akurat dan tidak sesuai dengan fakta di lapangan.
"Dicatatlah ini, padahal fiktif catatannya. Jadi persyaratan administrasi saja yang bilang si ini sama ini sudah menerima. 'Oh dia orang miskin nih, oke sudah'. Padahal kita cek di lapangan enggak, itu nama diisi saja, toh juga enggak ada yang cek juga. Jadi namanya dikumpulkan seakan subsidi sudah ke sekian orang," ujarnya.
Sebelumnya, Stranas PK mengungkapkan telah menemukan 10,6 juta penerima subsidi listrik yang tidak tepat sasaran yang nilainya diperkirakan mencapai Rp1,2 triliun per bulan.
“Estimasi subsidi listrik diberikan kepada masyarakat yang tidak masuk dalam kategori miskin bernilai kurang lebih Rp1,2 triliun per bulan,” kata Koordinator Pelaksana Stranas PK Pahala Nainggolan di Gedung Pusat Edukasi Antikorupsi KPK, Jakarta, Rabu.
Pahala mengatakan Stranas PK telah mempersiapkan solusi untuk mengatasi subsidi listrik yang salah sasaran tersebut antara lain optimalisasi interoperabilitas data berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) untuk ketepatan penyaluran subsidi listrik.
Kemudian, mengoptimalkan penggunaan DTKS berbasis NIK sebagai target penerima subsidi listrik yang ditujukan untuk masyarakat miskin. Hal serupa telah digunakan dalam skema Penerima Bantuan luran Jaminan Kesehatan Nasional (PBI JKN).
Dia juga merekomendasikan untuk mengubah kebijakan dari subsidi harga komoditas menjadi bantuan langsung tunai.
Tujuannya adalah agar hanya ada satu harga listrik di pasar, sehingga masyarakat miskin bisa membeli listrik dengan harga pasar dan subsidi untuk pembelian listrik tersebut sudah diterima secara tunai.
"Nah yang orang-orang yang mau dituju ini kasih uang saja. Itu bedanya subsidi produsen dengan subsidi konsumen. Kalau konsumen itu orangnya sudah kita tunjuk, kita beri uang supaya dia mampu membeli dengan harga pasar," ujarnya.
Pahala menjelaskan saat ini ada 33 juta penerima subsidi listrik, yang terbagi dalam dua kategori yakni pengguna daya 450 Va dan 900 Va. Kemudian berdasarkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), hanya 16,6 juta orang yang tercatat sebagai masyarakat miskin.
Saat ditelusuri lebih lanjut, untuk kategori 450 Va ada 8,7 penerima subsidi listrik yang tidak masuk dalam DTKS dan ada lebih dari 1 juta penerima subsidi yang memiliki lebih dari satu saluran listrik.
Sementara itu, untuk subsidi listrik kategori 900 Va tercatat ada 866 ribu penerima yang sudah meninggal sampai memiliki saluran listrik lebih dari satu.
Baca juga: KPK sita satu rumah mewah di Medan terkait korupsi lahan Rorotan
Baca juga: KPK ingatkan Raffi Ahmad wajib lapor LHKPN
Baca juga: Jangan ada korupsi dalam penyelenggaraan haji
Pewarta: Fianda Sjofjan Rassat
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2024