Milan, Italia (ANTARA) - 2024, diperkirakan menjadi tahun terpanas dalam sejarah, menimbulkan tantangan besar bagi sentra-sentra pertanian di Italia.

Menurut data dinas perubahan iklim Eropa, Copernicus, 2024 akan menjadi tahun pertama yang mencatat peningkatan suhu global di atas ambang batas kritis 1,5 derajat Celsius.

Sektor pertanian Italia, yang telah merasakan dampak perubahan iklim selama bertahun-tahun, diperkirakan akan semakin tertekan.

Bagi para petani di Italia, terutama di Lombardy, dampak cuaca ekstrem sangat serius.

Asosiasi petani terbesar di Italia, Coldiretti, mengungkapkan bahwa bukan hanya para petani di Lombardy yang mengalami kerugian 30-40 persen, tetapi juga di wilayah selatan.

“Di utara, kami menghadapi hujan deras dan banjir; ada 240 peristiwa cuaca ekstrem sejak awal musim gugur, dibandingkan hanya 80 pada periode yang sama tahun lalu," kata Paolo Butera, sekretaris Coldiretti.

"Di selatan, kekeringan parah dalam beberapa tahun terakhir telah membuat cadangan air turun ke level terendah."

Butera menyebutkan bahwa beberapa daerah di Sisilia kehilangan hasil panen zaitun dan gandum durum hingga 70 persen.

Di selatan Milan, banyak ladang jagung belum bisa dipanen hingga November, sebuah fenomena yang jarang terjadi.

Menurut Gian Enrico Grugni, seorang petani dan peternak di Cervignano d'Adda, 20 kilometer dari Milan, dia dan petani lain harus berpacu dengan waktu untuk bisa panen sebelum musim dingin datang.

“Kami memanen pada November, yang biasanya kami lakukan pada Agustus," katanya.

Dia menambahkan bahwa produksi dan mutu panen sangat rendah.

"Tapi yang menimbulkan kesulitan adalah lahan yang kebanjiran,” kata Grugni, yang mengaku mengalami kerugian sekitar 120 euro (sekitar Rp2 juta) per hektare.

Menurut dia, tantangan iklim tidak terjadi satu tahun saja. Pada 2022, daerahnya dilanda kekeringan dan setahun kemudian, dilanda hujan es dan badai.

“Bertani dalam kondisi tropis seperti ini sangat sulit," kata dia. "Kami hanya bisa berharap cuaca berpihak pada kami.”

Coldiretti melaporkan pada 15 Oktober bahwa hasil panen di Lombardy tahun ini akan sangat buruk.

Jagung, yang ditanam di lahan seluas 290.000 hektare, membawa kerugian besar karena sepertiga dari lahan itu tidak bisa ditanam.

Selain jagung, produksi pertanian lainnya juga berkurang: barley dan gandum (35 persen), tomat (30 persen), anggur (20-25 persen), beras (20-30 persen), dan labu (30 persen).

Kerugian itu terlihat jelas di lahan pertanian seluas 130 hektareseparuhnya ditanami jagungmilik Marco Curtarelli. Lahan itu berada di Lombardy, hanya beberapa ratus meter dari Sungai Po.

Hampir dua tahun lalu, rendahnya permukaan sungai itu membuat peninggalan Romawi kuno terlihat di dasar sungai. Kini, airnya melimpah dan hampir mencapai tingkatan banjir.

“Kami telah menerima curah hujan setinggi 1.650 milimeter sejak Januari. Cuaca tahun ini memperumit proses (produksi),” kata Curtarelli.

Dia mengaku rugi hingga 150.000 euro (sekitar Rp2,5 miliar).

Sumber: Anadolu

Baca juga: Tuan rumah COP29 desak negara maju bantu mitigasi krisis iklim
Baca juga: Pemimpin Afrika desak negara Barat penuhi komitmen perubahan iklim

Penerjemah: Primayanti
Editor: Anton Santoso
Copyright © ANTARA 2024