Mengatasi masalah keamanan air, pertumbuhan ekonomi, dan ketahanan iklim merupakan tantangan global yang memerlukan tindakan kolektif

Bandung (ANTARA) - Citarum Action Research Projek (CARP), mengharapkan proyek laboratorium hidup Citarum mereka bisa diaplikasikan khususnya di sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum, bahkan di daerah lain di Indonesia.

Dosen UI Reni Suwarso yang terlibat dalam CARP hasil kerja sama UI-Monash University dengan Satgas Citarum Harum, Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kabupaten Bandung, mengatakan di Bandung Kamis, bahwa program ini telah melakukan uji coba dan meluncurkan "Showcase laboratorium hidup Citarum: Menuju kebijakan dan praktik berbasis bukti dalam merevitalisasi sungai".

Showcase ini, katanya, membangun pilot percontohan TPS3R dengan ekonomi sirkular di Desa Padamukti, serta Ekowisata Berbasis Air dan toilet daur ulang di Desa Cibodas, yang sejalan dengan kebijakan dan program pemerintah terkait dengan infrastruktur teknologi dan fisik, prilaku dan praktik di rumah tangga dan desa, keuangan dan ekonomi, tata kelola dan kelembagaan.

Showcase di Desa Padamukti dan Desa Cibodas dibangun dengan prinsip bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat, mempromosikan perekonomian lokal, meningkatkan layanan dasar, termasuk pengelolaan persampahan, meningkatkan layanan air dan sanitasi, adaptasi perubahan iklim dan memulihkan saluran air, dengan metode co-creating/co-design, eksplorasi, eksperimen dan evaluasi dan monitoring.

"Model yang dibangun dalam riset ini, siap untuk di scale-up dan diduplikasi. Model ini bisa mengatasi permasalahan di desa-desa lain di Indonesia yang mengalami permasalahan yang sama atau mirip," kata peneliti dari FISIP UI tersebut.

Peneliti lainnya dari UI, Dr Dwinanty Marthanty mengungkapkan bahwa riset mereka juga memiliki misi mendukung "water for shared prosperity", yang diusung Indonesia dalam World Water Forum Bali 2024, salah satunya untuk memastikan ketersediaan air bagi kesejahteraan masyarakat di desa.

"Mengatasi masalah keamanan air, pertumbuhan ekonomi, dan ketahanan iklim merupakan tantangan global yang memerlukan tindakan kolektif. Tindakan kami hanya berskala mikro tapi ril. Bila tindakan berskala mikro tapi ril ini diduplikasi di semua desa di Indonesia, maka kontribusinya akan dahsyat," ucap peneliti Fakultas Teknik UI itu.

Terkait TPS3R di Desa Padamukti, Dr Melissa Skidmore dari Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation (CSRO), mengungkapkan dalam projek ini, pihaknya mengedukasi dan menjalankan aksi untuk membentuk ekosistem yang inline dengan ekowisata dalam pemilahan sampah, memasukkan sampah plastik ke TPS3R, dan memastikan ada industri yang menyerapnya.

"Jadi apa yang kita lakukan pemilahan plastik dan memastikan diangkut ke TPS3R untuk kemudian diolah sampai bisa diproses menjadi batu bata dari plastik dan memastikan ada industri lokal yang menghandel itu. Yang diharapkan berkaitan dengan ekowisata atau produk lainnya yang dibutuhkan komunitas," ujar Melissa Skidmore.

Investasi Sosial
Salah satu peneliti dalam proyek lainnya, Dr Paris Hadfield dari Monash Sustainable Development Institute, mengatakan kunci keberhasilan proyek laboratorium hidup Citarum ini bukan hanya fokus pada investasi teknologi, tapi juga harus menyeimbangkan dengan investasi dalam dimensi infrastruktur sosial.

"Jadi saya pikir hal yang sangat penting bahwa ini terus berlanjut. Karena dari segi sosial itu tidak ada cara cepat untuk membuat masyarakat berubah -dalam pengelolaan sampah-. Karena sampah ini adalah isu yang sangat personal, tiap individu juga pasti mengalami," kata Paris Hadfield.

Senada, Dekan FISIP UI Prof Dr Semiarto Aji Purwanto menyampaikan projek ini adalah jangka panjang dengan fokus bukan hanya pada kebersihan sungai, tetapi juga pada kebiasaan warga dalam menjaga kebersihan sungai, seperti proses pembuangan sampah.

Dia menyebut salah satu kontributor yang cukup berdampak pada degradasi sungai, adalah para pemukim liar di sekitar sungai, di mana untuk memperluas wilayah, mereka berupaya menimbun sungai dan sampah.

Ia menyampaikan, salah satu upaya yang paling mudah untuk dilakukan adalah penggusuran sehingga ada kesempatan untuk memperbaiki sungai. Namun, hal tersebut tidak mudah, sebab para pemukim merupakan orang yang menghidupkan kota.

"Jadi, kami mengusulkan high rise building flat. Sekali lagi, tidak gampang ya mengajak mereka yang tinggal di wilayah tersebut pindah ke rumah susun. Tetapi melalui ilmu-ilmu sosial kami coba masuk dari sisi itu," kata Aji.

Dengan melibatkan berbagai universitas di dalam maupun luar negeri seperti Monash University, projek ini diharapkan dapat menyasar ke berbagai fokus permasalahan seperti sistem pengolahan sampah, desain revitalisasi oxbow, sistem pengolahan air limbah.

"Kami melakukan komparasi dengan Sungai Yarra di Melbourne yang membutuhkan waktu 70 tahunan untuk membersihkan sungai. Lalu dengan Sungai Citarum kami punya workplan sekitar 30-40 tahun dari tahun 2023," ujar Aji.

Aji juga mengungkapkan bahwa CARP memerlukan dukungan dari pemerintah di semua tingkatan dan semua sektor, agar model yang dikembangkan dapat diperluas dan berlaku secara nasional.

CARP sendiri melaksanakan kegiatan diskusi, film, dan pameran dengan tajuk 'Menuju Kebijakan Berbasis Bukti untuk Revitalisasi Sungai' pada Rabu (13/11) di Kantor Satgas Citarum Kota Bandung.

Dalam diskusi diungkapkan bahwa berdasarkan data BPS 2023, hanya sembilan sungai di Indonesia yang memenuhi kualitas baku mutu pada tahun sebelumnya. Ini berarti baru 8,2 persen sungai yang memenuhi baku mutu dari 110 sungai yang diidentifikasi.

Bila data 2014 dibandingkan dengan data 2021, maka ada penambahan 1.897 (21 persen) desa yang terkategori mengalami pencemaran air dari 8.786 desa jadi 10.683 desa. Penambahan 198 (15 persen) desa yang terkena pencemaran tanah dari 1.301 desa jadi 1.499 desa.

Namun ada pengurangan 6.354 (52 persen) desa yang terkena pencemaran udara dari 11.998 desa, jadi 5.644 desa. Pada tahun 2023, jumlah desa tertinggal di Indonesia mencapai 9.238 (22 persen) desa dari total 83.971 desa, per tahun 2023.

Pewarta: Ricky Prayoga
Editor: M. Tohamaksun
Copyright © ANTARA 2024