Emma dikenal sebagai tokoh pejuang yang terlibat dalam salah satu peristiwa bersejarah bangsa Indonesia, yakni Kongres Pemuda I dan Kongres Pemuda II.
Lahir di Cilimus, Kuningan, Jawa Barat, pada 13 Agustus 1902, Emma lahir dari pasangan Raden Kardata Poeradiredja dan Nyi Raden Siti Djariah, yang keduanya memiliki darah menak atau bangsawan dalam masyarakat Sunda.
Pergerakan pemuda
Sejak belia, Emma aktif dalam organisasi kepemudaan, bergabung dengan Jong Java pada 1918. Setelah menyelesaikan pendidikannya di MULO, ia bekerja di jawatan kereta api milik Belanda Staatsspoorwegen (SS) atau yang kini menjadi PT Kereta Api Indonesia (KAI).
Di sela pekerjaannya di SS, Emma tetap aktif dalam kegiatan organisasi dan gerakan pemuda saat itu. Tidak hanya berkiprah di Jong Java, Emma juga bergabung di Jong Islamieten Bond di mana ia ditunjuk sebagai ketua organisasi cabang Bandung.
Emma hadir pada Kongres Pemuda I pada 30 April hingga 2 Mei 1926 sebagai wakil dari anggota Jong Islamiten Bond. Namun, Kongres Pemuda I ternyata belum menghasilkan keputusan konkret.
Kongres Pemuda II pada 27--28 Oktober 1928 menghasilkan Sumpah Pemuda. Di Kongres Pemuda II, Emma yang menjabat sebagai Ketua Cabang Bandung Jong Islamieten Bond berpidato mengenai peran para perempuan agar terlihat tidak hanya dalam pembicaraan pergerakan namun juga dengan perbuatan.
Dalam gerakan perempuan, Emma bersama rekan-rekannya mendirikan Dameskring pada 1927 yang menghimpun para wanita muda terpelajar untuk menggalang nilai-nilai persatuan bangsa Indonesia.
Tiga tahun kemudian, ia dan tokoh gerakan wanita lain mendirikan organisasi wanita Pasundan Istri sebagai wadah aspirasi serta perjuangan bagi para perempuan untuk memperbaiki nasib mereka di berbagai aspek kehidupan.
Perjuangan
Seperti tokoh-tokoh pejuang lainnya, jalan Emma dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia tidak selalu mulus. Tekanan dan intimidasi dari pemerintah kolonial Belanda menjadi batu sandungan yang dihadapinya semasa berjuang.
Kisah perjuangan Emma masih terekam jelas dalam ingatan putrinya, Amarawati Poeradiredja Susmono. Ia menceritakan meskipun saat itu ibunya bekerja di perusahaan milik Belanda, sikapnya jelas tidak ingin pro kepada penjajah dan memegang prinsip nonkooperatif.
Pada tahun 1948 ketika Belanda menduduki Kota Bandung, Emma bersama para pegawai jawatan kereta api yang pro-Indonesia memutuskan untuk mengungsi di sebuah daerah bernama Cisurupan di Kabupaten Garut, Jawa Barat, sebelum pindah ke Yogyakarta.
Amarawati menyaksikan bagaimana serangan Belanda memaksa ia berpisah dengan keluarganya untuk mengungsi ke wilayah yang lebih aman.
"Orang tua saya dikejar-kejar. Kakek, nenek, sama saya mengungsi ke daerah Ciamis. Ibu Emma saat itu pergi ke Yogyakarta. Waktu di Yogyakarta bernaung ke Sri Sultan (Hamengkubuwono IX) tapi dia ditawan oleh Belanda. Ditawan juga kakak saya, sampai mau pulang dititipkan ke orang PJKA (Perusahaan Jawatan Kereta Api)," kenang Amarawati.
Selain aktif dalam perjuangan nasional, Emma juga dikenal sebagai tokoh yang memiliki jiwa sosial tinggi terutama yang berkaitan dengan isu perempuan.
Seperti yang dikenang Amarawati, pada masanya Emma bersama tokoh-tokoh lainnya menggalakkan pemberantasan prostitusi. Selain itu, ia juga turut serta dalam membangun sekolah, rumah yatim, hingga terlibat mengurus anak-anak telantar.
"Bukan tangan dia semua, jadi bersama-sama. Kerjanya bersama-sama, tidak bisa kerja sendiri. Jadi bersama teman-teman dalam membuat itu semua," kata Amarawati saat menggambarkan sosok ibunya yang memperjuangkan isu sosial dan perempuan secara gotong royong.
Wanita mandiri dan disiplin
Amarawati banyak belajar dari ibunya mengenai bagaimana menjadi wanita yang mandiri dan disiplin sejak usia belia. Kendati memegang jabatan penting baik di organisasi maupun politik, Emma tidak pernah memanjakan atau memberikan perlakuan istimewa kepada anaknya.
Soal kedisiplinan, Amarawati mengaku bahwa Emma adalah orang yang disiplin soal waktu. Amarawati bercerita suatu hari ia terlambat berangkat ke kampusnya di Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Bandung yang kini bernama Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).
Agar tidak terlambat kuliah, ia meminta Emma untuk diantarkan menggunakan mobil. Emma lantas menolak dengan tegas untuk mengantarkan putrinya itu dan menyuruh dia untuk naik oplet.
"Kamu minta dianterin? Kamu mau diomongin oleh orang se-Bandung? Tuh naik oplet, enggak boleh pakai mobil dinas. Kamu sudah besar, harus punya akal sendiri," tutur Amarawati menirukan perkataan ibunya di hari itu.
Selain disiplin, Emma mendidik anaknya untuk mandiri dan bekerja keras dengan kemampuan yang dimiliki. Dari didikan sang ibu, Amarawati pun belajar menjadi perempuan yang mandiri dan bertanggung jawab.
"Beliau mengajari kepada saya itu pokoknya harus benar jadi orang, harus bisa mandiri. Kalau kita, misalnya, susah jangan minta sama saudara, kamu kerja," kata Amarawati.
Kisah hidup Emma Poeradiredja tidak hanya mencerminkan semangat perjuangan dan pengabdian pada bangsa, tetapi juga menjadi pelajaran bagi generasi muda, khususnya para perempuan Indonesia.
Prinsip hidup bekerja keras, mandiri, dan disiplin tidak hanya menginspirasi Amarawati tapi juga patut dijadikan teladan generasi muda yang kini mengisi kemerdekaan.
Editor: Achmad Zaenal M
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024