Jakarta (ANTARA) - Ahli dari Universitas Indonesia (UI) Prof dr Yusra mengembangkan pemeriksaan non-invasif untuk skrining dan deteksi dini kanker kolorektal.
"Mengapa diperlukan pemeriksaan non-invasif untuk skrining kanker kolorektal? Dari berbagai publikasi diketahui bahwa terdapat ketidakpatuhan yang tinggi di masyarakat dalam melakukan skrining kanker kolorektal dengan kolonoskopi," kata Yusra melalui keterangan di Jakarta, Rabu.
Baca juga: Aktivitas fisik di waktu tepat bantu kurangi risiko kanker kolorektal
Yusra mengungkapkan berbagai alasan yang biasanya menjadi hambatan dalam melakukan skrining kanker kolorektal antara lain ketidaknyamanan, rasa malu, rasa sakit, dan ketakutan tentang hasil positif.
Oleh karenanya, berbagai metode seperti pemeriksaan langsung lewat belakang (pada usia lebih dari 50 tahun dan diulang jika ada gejala), pemeriksaan darah samar feses/tinja dan pemeriksaan DNA feses untuk deteksi kanker kolorektal stadium dini, pemeriksaan endoskopi, dan pemeriksaan radiologi direkomendasikannya untuk dapat mendeteksi lesi kanker lanjut yang dilakukan setiap lima tahun.
Yusra menjelaskan metode yang direkomendasikannya dikarenakan feses dapat dikeluarkan melalui anus secara umum, dan menyimpan informasi berharga mengenai kesehatan sistem pencernaan dan hati.
"Oleh karena itu, feses merupakan sampel yang baik untuk mendeteksi penyakit saluran cerna, yang diperoleh dengan cara tidak invasif, sehingga dapat mengurangi ketidaknyamanan dan risiko yang sering dialami pasien akibat prosedur invasif," ujarnya.
Baca juga: Aspirin berperan dalam pencegahan dan pengobatan kanker kolorektal
Yusra menekankan berbagai metode yang direkomendasikannya merupakan sebuah urgensi untuk dapat diterapkan, sebab, skrining dan deteksi dini menjadi salah satu pilar dari enam pilar yang ditetapkan pemerintah untuk menangani kanker di Indonesia, yang masuk dalam Strategi Pencegahan dan Pengendalian Kanker Nasional 2024-2034.
Tak hanya itu, sambungnya, biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk pengobatan kanker di tahun 2023 meningkat hampir 50 persen menjadi Rp5,9 triliun dibanding tahun sebelumnya, dengan kanker kolorektal menempati urutan kedua yang memiliki biaya tertinggi setelah kanker pankreas.
"Fungsi tes skrining adalah untuk menilai kemungkinan seseorang yang tidak bergejala mengidap penyakit tertentu, dengan tujuan mencegah penyakit atau kematian akibat penyakit tersebut," ucapnya.
Menurut Yusra, skrining kanker kolorektal penting untuk menjadi program pemerintah karena penyakit ini memiliki periode asimtomatik (tidak bergejala) yang cukup lama.
Melalui metode skrining yang tepat, Yusra berharap penyakit kanker kolorektal dapat didiagnosis pada saat stadium awal, sehingga tata laksana penyakit dapat dilakukan secepat mungkin, untuk dapat menurunkan angka morbiditas dan mortalitasnya.
Baca juga: Dokter: pola makan buruk salah satu pemicu kanker kolorektal
Baca juga: Ini kata dokter terkait penanganan kanker kolorektal
Baca juga: Lingkungan dan gaya hidup jadi faktor penyebab kanker kolorektal
Pewarta: Sean Filo Muhamad
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2024