Jakarta (ANTARA) - Direktur Utama BPJS Kesehatan Ali Ghufron Mukti memastikan bahwa aset neto BPJS Kesehatan masih sehat, meski ada risiko defisit, dan memastikan pihaknya lancar dalam membayar rumah sakit pada 2025.
Ghufron mengatakan, kepercayaan publik yang tinggi dan pemakaian atau utilisasi layanan BPJS yang semakin masif menjadi penyebab risiko defisit, di mana kini sekitar 1,7 juta orang per hari menggunakan layanan tersebut.
"Dulu hanya 252 ribu. Sekarang, sehari lho itu ya, sekarang 1,7 juta per hari. Dan semua ini setahun bisa 606 juta lebih. Satu orang bisa lebih, setahun lebih dari sekali (pemakaian)," katanya ketika ditemui usai rapat bersama DPR di Jakarta, Rabu.
Dia mencontohkan, seseorang yang ke luar negeri untuk diagnosis kemudian mengetahui dirinya menderita kanker, kemudian kembali ke tanah air dan menggunakan BPJS untuk pengobatan kankernya.
Baca juga: Legislator: Perbaiki layanan kesehatan sebelum naikkan iuran BPJS
Terkait kenaikan iuran, katanya, hal itu merupakan salah satu dari sekian banyak cara untuk menjadi solusi, seperti yang tertera pada Peraturan Presiden nomor 59 tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan.
Solusi lainnya, katanya, adalah cost sharing, yang diterapkan di beberapa negara, di mana orang yang datang ke rumah sakit membayar sedikit, dengan jumlah yang tidak memberatkan.
"Tujuannya dua. Satu, ngurangi utilisasi. Dua, ngumpulin duit. Artinya untuk rumah sakit," katanya.
Dia mencontohkan, orang lanjut usia di Indonesia semakin banyak, dan mereka kesepian karena semua keluarganya sibuk. Daripada kebingungan, katanya, mereka ke rumah sakit, karena selain gratis, mereka bertemu dengan perawat-perawat yang ramah dan membuat betah.
Baca juga: Anggota DPR apresiasi kinerja BPJS Kesehatan yang kian baik
Dalam solusi cost sharing, para lansia ini diminta untuk membayar sedikit, misalkan Rp 15 ribu atau Rp 2o ribu. Dia menilai, hal tersebut akan membuat mereka berpikir kembali dan membatasi diri dalam penggunaan BPJS.
Dalam kesempatan itu, dia menjelaskan bahwa inflasi di bidang kesehatan disebabkan oleh sejumlah hal, seperti pertimbangan politik, kemauan dan kemampuan membayar.
Adapun terkait kenaikan iuran, katanya, pada Perpres 59 disebutkan bahwa per 2 tahun kenaikan iuran dibolehkan, namun perlu dievaluasi terlebih dahulu. Maksimum 30 Juni atau 1 Juli 2025, iuran atau tarifnya akan ditetapkan.
"Bisa naik bisa tetap, ini kan senario. Tapi kalau BPJS sebagai badan yang mengeksekusi, bukan yang bikin regulasi ya," katanya.
Baca juga: BPJS Kesehatan: Cakupan JKN capai 98,25 persen lampaui target RPJMN
Baca juga: Pemprov Kalbar dan BPJS tingkatkan layanan kesehatan dengan KRIS
Baca juga: Dirut BPJS Kesehatan puji inovasi 3 FKTP di Bali, buka telemedicine
Pewarta: Tri Meilani Ameliya, Mecca Yumna Ning Prisie
Editor: Nurul Hayat
Copyright © ANTARA 2024