Johannesburg, Kigali, Rwanda (ANTARA) - Para pemimpin Afrika di World Leaders Climate Action Summit (WLCAS) di Baku, Azerbaijan, Selasa (12/11), dengan tegas menyatakan telah mengambil langkah untuk mengurangi emisi karbon tetapi tidak akan mencapai target iklim tanpa bantuan negara-negara kaya.
“Kami tidak bisa mencapai target iklim sendirian, kami minta mitra global untuk memenuhi komitmen dalam memastikan akses pendanaan konsesional yang berkelanjutan bagi pembangunan Afrika tanpa menambah utang yang tidak berkelanjutan,” ujar Presiden Ghana Nana Akufo-Addo.
Dalam pidatonya di COP29 atau sidang ke-29 Konferensi Para Pihak untuk Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim, Akufo-Addo mengatakan negaranya telah menanam 50 juta pohon dan merestorasi hutan seluas 721.000 hektar sejak 2017, dengan tujuan mengurangi emisi sebesar 64 juta metrik ton pada 2030.
Ia menambahkan, pencapaian target ini memerlukan investasi sebesar 10-15 miliar dolar AS (sekitar Rp157,3 triliun-Rp235,9 triliun), tetapi meski menghadapi tantangan finansial dan teknis, Ghana berkomitmen memenuhi tujuan Perjanjian Paris di sektor pertanian, transportasi, kehutanan, energi, dan lainnya.
Ghana juga mendorong penggunaan kendaraan listrik dan telah meraih pendanaan 800 juta dolar AS (sekitar Rp12,6 triliun) melalui perdagangan kredit karbon dengan negara-negara seperti Swiss dan Swedia.
Sementara itu, Presiden Zimbabwe Emmerson Mnangagwa menyatakan bahwa negaranya sangat terdampak perubahan iklim, terutama melalui kekeringan yang disebabkan oleh fenomena El Nino.
“Zimbabwe memikul luka akibat perubahan iklim dan saat ini tengah mengalami salah satu kekeringan terburuk dalam sejarah akibat El Nino,” katanya.
Mnangagwa menambahkan bahwa kekeringan ini telah memengaruhi hampir setiap aspek kehidupan di Zimbabwe, sehingga pemerintah menyatakan status bencana nasional pada April.
“Waktunya untuk setengah hati telah berakhir. Kita semua memiliki kewajiban untuk sepenuhnya mengimplementasikan kesepakatan kita,” ujarnya.
Sedangkan Presiden Togo Faure Essozimna Gnassingbe menekankan perlunya keadilan iklim sejati dengan menyerukan tanggung jawab bersama tetapi berbeda di antara negara-negara.
“Afrika membayar harga terberat untuk perubahan iklim... kami menyumbang jumlah emisi yang kecil namun menanggung dampak terparah. Ekosistem pangan kami yang paling terkena dampaknya,” kata Gnassingbe.
Ia menyatakan bahwa kebutuhan akan keadilan iklim sangat mendesak dan tidak bisa lagi diabaikan. “Sebagai pemimpin, tanggung jawab kita semua seharusnya bergerak dari janji ke tindakan konkret,” lanjutnya.
Pembicara lainnya yaitu Presiden Guinea-Bissau Umaro Sissoco Embalo mengatakan bahwa COP29 berlangsung di tengah krisis iklim global yang memerlukan tindakan mendesak dan terkoordinasi.
“Kita harus memiliki kemauan politik untuk mengambil tanggung jawab dan secara kolektif mengatasi tantangan saat ini dengan semangat kerja sama dan solidaritas yang diperlukan,” tegas Embalo.
Ia menyerukan agar pendanaan iklim yang adil dan dapat diakses bagi negara-negara berkembang menjadi prioritas utama dan kondisi penting untuk meningkatkan ketahanan dan adaptasi.
Presiden Denis Sassou Nguesso dari Republik Kongo mengungkapkan kekhawatirannya tentang pendanaan iklim, dengan menyatakan, “Tujuan baru untuk pendanaan iklim harus didasarkan pada data ilmiah yang memperhitungkan kebutuhan negara-negara berkembang.”
Sumber: Anadolu
Baca juga: PBB: Krisis iklim ancam 118 juta warga Afrika
Baca juga: China bekerja sama dengan Afrika untuk atasi perubahan iklim
Baca juga: IMF: Negara-negara rapuh di Afrika paling dirugikan perubahan iklim
Penerjemah: Primayanti
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2024