Jakarta (ANTARA) - Selama berabad-abad masyarakat Indonesia telah hidup bersama di lahan gambut. Di Indonesia terdapat 24 juta ha lahan yang termasuk wilayah kesatuan hidrologis gambut (KHG).

Dari 24 juta ha KHG tersebut, 13,4 juta ha di antaranya adalah lahan gambut, sehingga menempatkan Indonesia sebagai negara dengan gambut tropis terluas di dunia.

Lebih dari 50 persen lahan gambut telah digunakan untuk berbagai kegiatan ekonomi yang menopang kehidupan masyarakat di berbagai sektor, seperti pertanian tanaman perkebunan, pertanian tanaman pangan dan hortikultura, hutan tanaman, areal perumahan, dan infrastruktur.

Pada umumnya kegiatan ekonomi tersebut diawali dengan membuat saluran drainase untuk membuang air ke luar dari lahan, sehingga muka air tanah menurun, bahkan lahan menjadi kering.

Penurunan muka air tanah diikuti dengan penurunan permukaan tanah (subsidens), peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK), dan peningkatan risiko kebakaran lahan.

Emisi GRK tidak saja mempengaruhi keberlanjutan usaha pertanian, tetapi juga memicu terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim.

Kegiatan ekonomi masyarakat di area KHG tersebut tidak dapat dihindari karena telah berlangsung turun temurun dan menjadi sumber pendapatan masyarakat.

Seringkali area yang termasuk wilayah KHG telah berkembang menjadi perkampungan dan perdesaan.

Di sisi lain upaya menurunkan emisi GRK juga mendesak, sehingga diperlukan kesadaran semua pihak untuk dapat menurunkan laju emisi GRK pada berbagai aktivitas ekonomi yang telah berlangsung.

Kesadaran itu dapat mewujudkan aktivitas ekonomi di lahan gambut yang rendah emisi serta berkelanjutan.

Dengan kata lain aktivitas ekonomi dan upaya menjaga lingkungan dapat berjalan secara bersinergi.

Tentu hal tersebut hanya dapat tercapai jika terdapat upaya untuk meningkatkan kapasitas para pemangku kepentingan dalam pengelolaan lahan gambut berkelanjutan.

Selain itu kemampuan untuk inventarisasi emisi gas rumah kaca penting dikuasai oleh para pemangku kepentingan untuk menilai aspek keberlanjutan dari pengelolaan lahan gambut.

Upaya menurunkan emisi gas rumah kaca melalui pengelolaan lahan gambut sangat penting dalam diplomasi global.

Indonesia telah berkomitmen meningkatkan target national determined contribution (NDC) dari 26 persen menjadi 29 persen berupa pengurangan emisi gas rumah kaca dengan usaha sendiri pada tahun 2030.


Emisi GRK

Telah diketahui bahwa meningkatnya emisi GRK sejalan dengan meluasnya lahan gambut yang didrainase serta kedalaman muka air tanah akibat drainase.

Namun, pada faktanya terdapat ketidakpastian dalam inventarisasi GRK karena lahan gambut bersifat dinamis dan beragam. Dengan demikian diperlukan riset yang intensif untuk menghasilkan data empiris emisi GRK di lapangan.

Aktivitas ekonomi yang saat ini dominan di lahan gambut yang dikelola perusahaan dan masyarakat adalah perkebunan sawit.

Pemerintah sebagai regulator perlu menyusun standar pengelolaan perkebunan sawit di lahan gambut secara berkelanjutan.

Standar pengelolaan lahan gambut bagi perkebunan sawit menjadi penting, mengingat perkebunan kelapa sawit merupakan penggunaan lahan yang dominan di lahan gambut.

Kementerian Pertanian melalui Balai Pengujian Standar Instrumen (BPSI) Tanah dan Pupuk bekerja sama dengan World Agroforestry (ICRAF) dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) telah melaksanakan kegiatan improving the management of peat and the capacities of stakeholders in Indonesia (Peat IMPACTS-Indonesia).

Proyek tersebut sudah berjalan sejak 2020, dengan kegiatan lapang di Sumatera Selatan dan Kalimantan Barat.

Kegiatan utama yang dilaksanakan adalah penelitian tentang pengurangan emisi GRK dari dekomposisi gambut, mengurangi risiko kebakaran melalui tata kelola lanskap gambut yang baik, peningkatan kapasitas pemangku kepentingan dalam pengelolaan lahan gambut.

Kegiatan Peat-IMPACTS yang akan berakhir pada Desember 2024 ini menyimpulkan enam catatan penting dari riset dan peningkatan kapasitas.

Pertama, emisi karbon dioksida menurun seiring naiknya muka air tanah. Risiko kebakaran gambut juga menurun dengan naiknya muka air tanah.

Artinya, usaha untuk menaikkan muka air tanah, misalnya dengan sekat kanal, penting untuk menurunkan emisi GRK, baik dari dekomposisi maupun kebakaran gambut.

Kedua, kebakaran gambut dapat memicu penurunan muka lahan (subsidens) yang cepat. Setiap 1 cm subsidens berasosiasi dengan kehilangan karbon sebanyak 10,6 t CO2-e/ha atau 2,9 t C/ha.

Ketiga, restorasi gambut dengan jenis tanaman endemik, seperti belangeran, jelutung, dan punak, dapat meningkatkan serapan karbon lebih baik dibandingkan hanya dengan mengandalkan regenerasi alami.

Keempat, keanekaragaman tertinggi mikroba terdapat pada habitat alami yang tidak diintervensi.

Kata kunci dari keenam catatan tersebut adalah pengelolaan lahan gambut yang baik hanya dapat dilakukan dengan menjaga muka air tanah tetap tinggi (dekat dengan permukaan tanah), sehingga subsidens, emisi, dan kebakaran, dapat diminimalkan.

Peat-IMPACTS telah membuktikan bahwa pengelolaan lahan gambut berkelanjutan dapat diwujudkan dengan kolaborasi multipihak.

Praktik baik tersebut juga telah menghasilkan Rancangan Standar Nasional Indonesia Pengelolaan Pertanian Lahan Gambut untuk Perkebunan Lahan Sawit serta buku panduan inventarisasi emisi gas rumah kaca dari kebakaran gambut dan dari dekomposisi gambut.

Berbagai upaya tersebut diharapkan menjadi jalan keluar bagi bangsa ini agar aktivitas ekonomi masyarakat untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera dapat terus berjalan beriringan dengan rendah emisi, sehingga terwujud pula keberlanjutan lingkungan.

Jika hal itu tercapai, maka posisi diplomasi Indonesia di level global dapat meningkat karena target penurunan emisi terwujud.


*) Penulis adalah Peneliti di BPSI Tanah dan Pupuk, Kementerian Pertanian, dan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).


Copyright © ANTARA 2024