Garut (ANTARA) - Tidak ada atribut kampanye yang mewarnai Kampung Pulo di Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Kampung adat ini steril dari stiker, kaus, baliho, maupun spanduk yang mempromosikan pasangan calon peserta Pilkada 2024.

Berbeda dengan kawasan di luar kampung adat sana, berbagai atribut mewarnai jalanan, area-area publik, bahkan terang-terangan dipasang di tempat tinggal warga sebagai bentuk dukungan kepada pasangan calon (paslon) yang hendak maju pada pemilihan Bupati-Wakil Bupati Garut, maupun pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur Jawa Barat.

Atribut kampanye paslon itu tidak ada terpampang satu pun di kampung adat. Semua terlihat seperti hari-hari biasa. Di sini hanya berdiri bangunan masjid dan enam rumah panggung yang berjejer berhadapan di kampung itu.

Ketiadaan atribut kampanye di lingkungan adat itu bukan berarti mereka yang tinggal di Kampung Pulo tidak mau tahu maupun tidak mengetahui bahwa di Garut dan Jawa Barat sedang melaksanakan pemilihan kepala daerah.

Mereka selama ini terbuka untuk mendapatkan akses informasi tentang perkembangan zaman di luar kampung, termasuk mendapatkan informasi pelaksanaan pilkada dan juga mengetahui siapa saja calon yang maju dalam pilkada.

Mereka mendapatkan informasi tentang pemilihan itu dari petugas panitia pemilihan kecamatan, maupun panitia pemungutan suara juga dari pemerintah desa tentang persiapan akan diadakannya pemilihan pemimpin daerah.

Bukan hanya atribut kampanye yang tidak ada di lingkungan adat itu, kampanye pasangan calon kepala daerah yang maju pada pilkada pun selama ini tidak ada. Kalaupun ada dan mau memberikan bantuan tentunya akan dilakukan di luar kampung.

Menurut Ketua Komunitas Masyarakat Kampung Pulo Zaki Munawar, ketiadaan atribut kampanye pasangan calon di lingkungan adat itu bukan tanpa sebab. Selain tempat tersebut merupakan aset pemerintah daerah, masyarakatnya juga ingin menjaga keharmonisan satu sama lainnya.

Apabila ada salah satu atribut kampanye terpasang di lingkungan adat, kemudian masyarakat adat menyampaikan dukungan pada satu pasangan calon, lalu yang lainnya berbeda pilihan, dikhawatirkan terjadi konflik di kampung adat atau sebaliknya menilai berbeda dari masyarakat luar.

"Kampanye di sini tidak boleh, khawatir terjadi bentrok. Kita tidak tahu di dalam hati, makanya tidak boleh. Kalau pilihan pasti ada, dan itu bebas saja," kata Zaki saat ditemui ANTARA di Kampung Pulo awal pekan ini.

Mengingat kembali sejarah berdirinya Kampung Pulo itu hadir dan mampu bertahan karena adanya keharmonisan antara masyarakat, dan juga toleransi agama yang tinggi karena warga di Kampung Pulo sebelumnya merupakan penganut ajaran Hindu pada abad VIII, terbukti adanya peninggalan Candi Cangkuang di atas bukit kampung itu.

Selanjutnya pada abad ke-17, Arief Muhammad seorang muslim dari Kerajaan Mataram, datang ke Kampung Pulo menyebarkan ajaran Islam sampai meninggal dunia di kampung tersebut. Oleh keluarganya dan masyarakat setempat ia dimakamkan di sekitar Candi Cangkuang, yang menunjukkan keharmonisan dan toleransi dari perbedaan keyakinan pada zaman itu.

Embah Dalem Arief Muhammad itu dipercaya sebagai leluhur masyarakat adat Kampung Pulo yang menyebarkan agama Islam di daerah itu. Peninggalannya sampai saat ini masih terjaga seperti kitab, tujuh bangunan yang sedari dulu tetap kokoh dan tidak berubah, kemudian masyarakatnya terus menjaga keharmonisan dan toleransi.

Kini, di Kampung Pulo itu hanya terdapat 20 warga terdiri atas 10 perempuan dan 10 laki-laki. Warga adat yang paling muda berusia 6 tahun, sedangkan paling tua sekitar 103 tahun, yakni Mak Aah istri dari kuncen kampung adat sebelumnya.

Mereka yang tinggal di sana merupakan keturunannya langsung Arief Muhammad yang mengamanatkan untuk tetap menjaga sistem sosial dengan mempertahankan satu rumah satu keluarga. Apabila ada yang menikah atau berkeluarga dalam satu rumah itu maka diminta untuk mandiri tinggal di luar kampung.

Aturan yang diterapkan kampung adat itu sebagai upaya mempertahankan tanah adat dengan jumlah bangunan yang tidak berubah serta kondisi lingkungan keluarga yang tenteram.

"Kalau yang tinggal di sini ada 20 orang, tapi keturunannya itu banyak, tersebar di mana-mana. Mereka tinggal di luar kampung, bisa jadi satu desa di sini itu kebanyakan keturunan beliau," kata Zaki yang juga keturunan dari Embah Dalem Arief Muhammad.


Harapan warga adat

Keharmonisan masyarakat adat itu selama ini terus dijaga dengan baik, termasuk dalam momentum pesta demokrasi saat ini. Mereka tidak menunjukkan keberpihakkannya secara terbuka dalam politik.

Meski begitu, mereka pada dasarnya memiliki pilihan, dan harapan terhadap pemimpin nanti. Buktinya setiap pelaksanaan pencoblosan mereka antusias datang ke tempat pemungutan suara di luar kampung itu.
 

Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024