Semarang (ANTARA) - Pemikiran filsuf politik asal Italia, Niccolo Machiavelli, yang lahir 5 abad yang lalu, masih tetap relevan untuk memotret kondisi politik saat ini. Bisa jadi, penerapannya menjadi lebih luas dan terstruktur, tidak hanya di tingkat atas namun juga di level politik yang lebih rendah.
Sebut saja pemikiran Machiavelli tentang keberhasilan. Bagi Machiavelli yang lahir di Florence, 3 Mei 1469, seorang penguasa harus ingat bahwa apa pun yang mendatangkan keberhasilan adalah karena kekuasaan. Maka untuk memperoleh kekuasaan politik, gunakanlah segala jenis cara sehingga politik adalah perebutan kekuasaan yang terus-menerus.
Tentu saja, tidak semua sepakat dengan pendapat yang seperti ini. Masih banyak yang percaya bahwa dunia politik juga diwarnai dengan etika dengan tujuan menjadikan politik yang beradab.
Dalam sosialisasi "Pendidikan Pemilih Pilkada 2024" yang diselenggarakan Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah pada pekan lalu, Dr. Cahyo Seftyono dari Universitas Negeri Semarang (Unnes) membahas "Pelatihan Ideologi Kepemimpinan Politik: Refleksi Menuju Jawa Tengah yang Lebih Beradab".
Ia mengutip pernyataan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir saat Milad Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Tahun 2018, bahwa politik beradab adalah politik yang mendasarkan diri pada nilai-nilai moral dan etika.
Politik yang bukan hanya mengejar kekuasaan, melainkan juga bertujuan untuk membangun kehidupan berbangsa dan bernegara yang lebih baik.
Masyarakat tetap diberi peran dalam berpolitik, namun tentu saja dengan penuh tanggung jawab dan berkomitmen terhadap moralitas dan kemanusiaan.
Korelasi antara politik, kekuasaan, dan peran serta masyarakat, mengingat semua pemilih memiliki kesetaraan suara. Jika mengacu "resep" Machiavelli yang menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan, maka akan menimbulkan berbagai deviasi atau penyimpangan.
Praktik politik uang--meski acap sulit dibuktikan-- selalu terdengar ingar bingar di setiap proses pemilihan, baik kepala daerah maupun legislatif.
Anas Syahirul, anggota LHKP Muhammadiyah, tidak memungkiri bahwa politik uang cenderung semakin menjadi pilihan akhir dalam "membeli" suara. Ia membagi pemilih dalam tiga perilaku. Pertama, pemilih militan ideologis (berpendirian kuat). Kedua, pemilih yang rasional (swing voters). Ketiga, pemilih transaksional yang harus diakui, jumlahnya makin bertambah.
Mengutip riset dari Indo Barometer, pada tahun 2019 pemilih yang memilih karena uang di kisaran 28 persen. Pada tahun 2024, jumlahnya naik menjadi 35 persen, sementara pemilih yang memilih tidak karena uang pada tahun 2019 di kisaran 9,8 persen, 5 tahun sesudahnya turun menjadi 8 persen.
Penyebabnya pun beragam, mulai dari banyaknya calon yang instan, lemahnya kesadaran pemilih, hingga penegakan hukum yang belum maksimal.
Padahal, dampak politik uang dalam kehidupan sehari-hari sangat luas. Misalnya, menurunkan moralitas masyarakat, menimbulkan pragmatisme dalam kehidupan berbangsa, perilaku koruptif, menurunkan kualitas demokrasi, melahirkan kebijakan yang sifatnya transaksional, hingga memicu penyelewengan kekuasaan.
"Ini menjadi keresahan bersama. Tentu saja kita tidak ingin kondisi ini terus berlarut," kata Anas Syahirul yang juga komisioner Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Provinsi Jawa Tengah itu.
Upaya untuk menekan dan menghilangkan politik uang terus dilakukan. Misalnya, dari organisasi Persyarikatan Muhammadiyah, dalam hasil sidang Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, telah diputuskan fatwa haram untuk politik uang selama Pilkada 2024. Lebih lengkapnya, politik uang dalam bentuk suap, sogokan, dan imbalan untuk transaksi jual beli suara (risywah politik) adalah haram.
Tujuannya, menurut Ketua PP Muhammadiyah Busryo Muqoddas, untuk mendorong terbentuknya pemerintahan yang bersih dan berorientasi pada kebijakan publik yang maslahat atau bermanfaat.
Pendidikan politik seperti membentuk rumah pintar politik dan satuan tugas antipolitik uang, menjadi sedikit dari sejumlah upaya guna menekan praktik culas politik uang tersebut.
Cahyo Seftyono menyarankan sejumlah strategi dalam mewujudkan politik yang beradab, mulai dari berfokus pada tauhid murni, politik yang bertujuan untuk mengedukasi dan mencerahkan umat baik dalam kehidupan personal maupun komunal.
Kemudian, menjadikan amal-amal kebaikan menjadi sesuatu yang menggembirakan. Karena kebaikan yang bersifat komunal, semestinya juga bisa membawa kebaikan umat secara personal.
Lalu, bekerja samalah dalam kebaikan, bukan sebaliknya. Politik yang beradab berorientasi pada kolaborasi, bukan kompetisi yang saling menegasikan. "Jangan jadikan kekuasaan sebagai tujuan akhir," kata Cahyo Seftyono.
Editor: Achmad Zaenal M
Copyright © ANTARA 2024