Menurut dia, mekanisme atau prosedur penegakan pelanggaran yang realistis dapat menimbulkan efek jera bagi ASN pelanggar tersebut.
“Namun, jangan ada perlakuan sanksi yang berbeda karena ada faktor dukungan pihak-pihak yang berkuasa,” kata Faishal dihubungi dari Jakarta, Selasa.
Walaupun demikian, dia menilai bahwa aturan yang ada pada saat ini sudah memadai, tetapi aspek penegakan yang perlu diperhatikan.
“Memang agak sulit untuk menghukum ASN hanya karena mereka berpose sambil mengacungkan kode jari untuk merujuk pada pasangan calon tertentu misalnya. Bagaimanapun, ASN memiliki hak pilih, dan dia secara naluriah akan memberikan dukungan bagi pasangan calon yang dia sukai,” ujarnya.
Sebelumnya, Wakil Menteri Dalam Negeri (Wamendagri) Bima Arya Sugiarto dalam rapat kerja bersama Komisi II DPR RI di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (11/11), mengatakan Jawa Tengah dan Jawa Timur menjadi contoh daerah yang memiliki dinamika persoalan netralitas ASN pada Pilkada 2024.
Bima menjelaskan bahwa fakta tersebut diperoleh berdasarkan tinjauan lapangan yang dilakukan Kemendagri saat berkeliling ke setiap provinsi di Indonesia bersama dengan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Ia mengatakan bahwa Kemendagri dapat memberikan sanksi hukum terkait dengan pelanggaran netralitas oleh ASN di lingkungan pemerintahan daerah.
"Mekanismenya jelas, Bawaslu menindaklanjuti, kemudian Kemendagri akan proses sesuai dengan kewenangan," kata dia.
Wamendagri menjelaskan bahwa tingkatan sanksi yang bisa diberlakukan, yakni mulai dari peringatan teguran, pemberhentian sementara, sampai pemberhentian secara tetap apabila memenuhi pembuktian.
Baca juga: Pakar: Pelanggaran netralitas ASN perlu ditegakkan tanpa pandang bulu
Baca juga: Akademisi: Netralitas pengajar jelang Pilkada 2024 perlu diperhatikan
Baca juga: Wamendagri: Jawa Tengah punya persoalan netralitas ASN terkait pilkada
Pewarta: Rio Feisal
Editor: Guido Merung
Copyright © ANTARA 2024