Jakarta (ANTARA) - Mantan Menteri Luar Negeri RI periode 2009-2014 Marty Natalegawa mengingatkan bahwa Indonesia tidak bisa hanya bergantung pada satu sumber utang luar negeri saja, karena hal ini dapat memengaruhi posisi Indonesia dalam peta geopolitik.
Ketergantungan hanya pada satu negara atau blok tertentu dalam aspek profil utang luar negeri dapat membawa risiko di tengah ketidakpastian global.
"(Profil utang Indonesia) tentu sangat memengaruhi. Ini yang saya maksud tadi tentang exposure-nya, keterpaparan kita (dalam peta geopolitik),” kata Marty dalam sesi gelar wicara Indonesia Knowledge Forum XIII-2024 yang digelar BCA di Jakarta, Selasa.
Dalam acara Indonesia Knowledge Forum XIII-2024 yang diselenggarakan oleh BCA di Jakarta, Selasa, dirinya menjelaskan bahwa profil utang luar negeri Indonesia menjadi faktor penentu dalam memperkuat atau melemahkan posisi Indonesia secara internasional.
Menurut dia, profil utang Indonesia memengaruhi eksposur dalam peta geopolitik. Oleh sebab itu, penting bagi Indonesia untuk menentukan batasan risiko atau toleransi terhadap ketergantungan utang dari suatu negara.
Lebih lanjut, Marty mengingatkan bahwa dalam mengambil keputusan ekonomi dalam lingkup global, Indonesia harus memiliki tolok ukur dan standar tertentu yang memungkinkan mitigasi risiko, seperti menghindari ketergantungan yang berlebihan pada satu negara pemberi utang.
Adapun berdasarkan data Bank Indonesia (BI), saat ini Singapura menjadi negara pemberi utang luar negeri terbesar ke Indonesia. Hingga kuartal II 2024, utang Indonesia dari Singapura tercatat mencapai 54,36 miliar dolar AS.
Selain itu, Marty juga mendorong institusi ekonomi nasional, baik sektor publik maupun swasta, untuk secara sadar menentukan toleransi risiko mereka dalam utang luar negeri. Jika rasio utang dari satu negara hampir melampaui batas toleransi, Indonesia harus beralih ke sumber pembiayaan lain sebagai langkah diversifikasi. Hal ini dapat menjadi strategi penting untuk menjaga stabilitas ekonomi Indonesia di tengah tantangan global.
“Kalau kita ketahui risk tolerance-nya itu, kalau hampir mendobrak risk tolerance itu, apakah rasio dari utang yang dipegang, surat berharga suatu negara akan melampaui suatu titik. Mau tidak mau kita harus mencari sumber alternatif lain, diversifikasi,” jelasnya.
Pewarta: Bayu Saputra
Editor: Evi Ratnawati
Copyright © ANTARA 2024