Produksi SSDN di Indonesia memang setara dengan dinamika populasi sapi perahnya.

Ini berbeda dengan negara-negara maju. Meski populasi sapi perah semakin menurun, produksi susu segarnya adakalanya meningkat signifikan.

Pemerintah sejak 2013, melalui Kemenko Perekenomian, sudah mempunyai Cetak Biru Persusuan Nasional 2013--2025 sebagai salah satu upaya untuk mendorong pengembangan persusuan nasional melalui empat kebijakan strategis.

Pertama, peningkatan produksi susu segar berkualitas. Kedua, peningkatan konsumsi susu segar masyarakat. Ketiga, pengembangan industri pengolahan susu, dan keempat, pengembangan pasar dan jalur pemasaran.

Meski cetak biru sudah ada, tampaknya masih ada kendala eksekusi di lapangan. Ada adagium bahwa apa pun kebijakannya, ada perbedaan teori dengan pelaksanaannya.

Indikasinya, kapasitas produksi susu sapi perah nasional dalam satu dekade atau bahkan 5 tahun terakhir tidak sesuai harapan.

Data BPS menyebutkan, produksi susu sapi perah nasional pada 2015 sebesar 71,95 juta liter senilai Rp340,9 miliar, lalu pada 2016 jadi 74,07 juta liter senilai Rp409,98 miliar, pada 2017 jadi naik menjadi 132,22 juta liter senilai Rp702,69 miliar, pada 2018 sebesar 135,03 juta liter senilai Rp773,98 miliar.

Kemudian, pada 2019 naik jadi 219,8 juta liter senilai Rp670 miliar, pada 2020 anjlok turun jadi 105,37 juta liter senilai Rp681,63 miliar, lalu pada 2021 sedikit naik jadi 133,17 juta liter (Rp850,59 miliar), lalu pada 2022 turun lagi jadi 121,99 juta liter (Rp784,58 miliar) dan pada 2023 stabil di angka 123,90 juta liter (Rp819,97 miliar).

Menilik data itu, agaknya sulit diharapkan produksi susu segar nasional bisa digenjot secara signifikan karena sampai sekarang belum terlihat upaya nyata untuk membela produk nasional ini mengambil peran cukup strategis.

Padahal realitas di masyarakat, aneka produk susu dan olahan makin hari makin berkembang. Artinya, permintaan itu ada dan cenderung bertumbuh di tengah kesadaran publik akan pentingnya pangan bergizi seperti susu sebagai salah satu sumber protein hewani.

Jika permintaan terus tumbuh, sementara kapasitas susu nasional tak beranjak, maka wajar jika Pemerintah mengambil jalan pintas dengan impor dari luar.

Artinya, ada problem keberpihakan yang tak berimbang. Satu sisi rakyat perlu dibela, tetapi prakondisi menuju tumbuh kembang mereka tidak terlihat disediakan.

Rencana impor sapi perah dalam waktu dekat ini sepertinya bak gayung bersambut dengan program makan bergizi gratis pemerintahan Prabowo-Gibran.

Pada 5 November 2024, Kementerian Pertanian (Kementan) mengumumkan rencana impor satu juta sapi perah selama 5 tahun, mulai 2025 hingga 2029, untuk mendukung target pemenuhan kebutuhan susu nasional dan program makan bergizi gratis.

Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman  menyatakan Indonesia akan mendatangkan sapi perah dari Australia, Brasil, Selandia Baru, Amerika Serikat, dan Meksiko.

Menurut data Kementan, kebutuhan susu segar nasional diproyeksikan mencapai 8,5 juta ton pada 2029. Dari jumlah tersebut, sekitar 4,9 juta ton akan dialokasikan untuk kebutuhan susu reguler, sementara 3,6 juta ton lainnya diperuntukkan bagi program makan bergizi gratis.


Perpres disiapkan 

Aksi mandi susu peternak Boyolali dan aksi serupa di Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, beberapa hari lalu itu, tampaknya menyulut perhatian dari pemerintahan baru Prabowo-Gibran.

Belum genap sepekan setelah aksi, Menteri Pertanian Andi menggelar pertemuan dengan pihak terkait di Jakarta. Hadir dalam kesempatan itu, Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi, Direktur Eksekutif Asosiasi Industri Pengolahan Susu (AIPS) Sonny Effendi dan perwakilan peternak dari Kabupaten Pasuruan Bayu Aji Handayanto.

Hasilnya, Pemerintah segera mengeluarkan regulasi dalam bentuk peraturan presiden (perpres) yang mewajibkan semua industri pengolahan untuk membeli susu produksi peternak lokal.

Tentu, regulasi ini tak bermaksud sebagai pemadam kebakaran dari aksi mandi susu itu, tetapi berdampak lebih luas yakni swasembada susu.

Mereka ingin seluruh pemangku kepentingan tumbuh bersama dan perpres itu kelak bisa membalikkan kebijakan yang berlaku sejak krisis ekonomi 1997/1998.

Saat itu, ada Instruksi Presiden Nomor 2/1985 tentang Koordinasi Pembinaan dan Pengembangan Persusuan Nasional yang dicabut pada awal 1998 karena mengikuti perintah Dana Moneter Internasional via letter of intent. Sejak saat itu, impor meningkat drastis, dari 40 persen pada 1997 menjadi 80 persen hingga saat ini.

Rencana penerbitan perpres tersebut seperti embusan angin segar bagi peternak sapi perah yang saat ini masih gerah menghadapi situasi pelik di bisnis persusuan.

Pemerintah optimistis regulasi baru itu akan menjadi angin segar bagi peternak sapi lokal dan IPS mengikuti mematuhi beleid ini.

Menteri Andi Amran mengancam, jika importir menolak, maka izin impornya akan dicabut selamanya. Pada tahap awal, sedikitnya lima importir susu sudah ditahan untuk sementara waktu, guna memberikan relaksasi bagi peternak agar produksi susu mereka benar-benar diterima mereka.

Pemerintah memang harus benar-benar serius kali ini untuk berpihak kepada kepentingan peternak domestik, sebab publik juga menunggu realisasi janji Astacita yang digaungkan oleh Pemerintahan Prabowo-Gibran.

Salah satu Astacita itu adalah memantapkan sistem pertahanan keamanan negara dan mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan, energi, air, ekonomi kreatif, ekonomi hijau, dan ekonomi biru.

Kebijakan impor sapi perah dan susu selama ini bertujuan memang demi menjamin kebutuhan gizi masyarakat.

Namun di sisi sama, Pemerintah juga wajib jadi penjamin kecukupan permintaan susu dalam negeri sekaligus memproteksi pemain susu lokal, termasuk peternak sapi perah agar dapat tumbuh mandiri dan berdaya saing.


Editor: Achmad Zaenal M

Copyright © ANTARA 2024