Rawatlah hutan ini, karena di sini kami hidup untuk kalian

Paru-paru dunia

Namun, di luar hutan, dunia bercerita lain. Data dari Global Forest Watch menunjukkan bahwa Indonesia kehilangan lebih dari 17 juta hektare hutan primer antara tahun 2001 dan 2021, sebagian besar untuk perkebunan, infrastruktur, dan pertambangan.

Hutan yang seharusnya menjadi paru-paru dunia banyak yang telah beralih fungsi, digantikan oleh pabrik-pabrik yang mengeluarkan asap, menggantikan oksigen dengan karbon yang mencemari.

Berdasarkan laporan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, sektor kehutanan dan penggunaan lahan menjadi penyumbang hampir setengah emisi karbon Indonesia pada tahun 2023. Inilah ironi yang menghantui langkah bangsa ini ketika hutan yang seharusnya menjadi penyelamat, malah berubah menjadi korban.

Betapi tak perlu tahu soal krisis iklim atau komitmen emisi untuk memahami betapa berharganya hutan ini. Ia tahu bahwa setiap pohon adalah napasnya, setiap aliran sungai adalah darahnya.

Betapi hanya berbicara dalam bahasanya, namun ia mengerti bahasa Indonesia, saat ditanya apakah ia boleh diajak keluar dari hutan ia tersenyum dan menggeleng. Ibunya yang duduk di sebelahnya juga melarang dengan mengatakan sebuah kata yang tak dapat dimengerti namun seperti larangan.

Sebab pada prinsipnya, perempuan SAD bisa saja pergi ke mana pun jika ia diajak oleh suaminya, namun bila tidak dengan suaminya, ia harus tetap tinggal di hutan bersama keluarganya.

Sebab, sebagaimana perempuan SAD lain, ia adalah induk yang tak bisa meninggalkan anaknya, seperti hutan yang akan tetap menjadi hutan apabila dipenuhi pepohonan. Ia melahirkan seorang bayi perempuan cantik yang saat ini sudah mulai belajar berjalan dan dinamai Melompat.

Betapi sudah mulai mengajarkan pada anaknya bahwa menjaga hutan bukan sekadar pilihan, melainkan takdir, panggilan dari leluhur untuk memastikan kehidupan berlanjut.

Pemikiran sederhana Betapi sudah saatnya menyadarkan dunia untuk berpikir ulang. Sudah saatnya juga bagi Indonesia untuk menerapkan kebijakan yang tidak hanya berorientasi pada ekonomi, tetapi juga menjaga lingkungan.

Dalam upaya menurunkan emisi sebesar 31,89 persen pada tahun 2030, paradigma pengelolaan hutan harus berbasis pada harmoni dengan alam, bukan eksploitasi.

Jika pun harus ada pemanfaatan ekonomi, tetap harus seiring dengan menjaga tutupan hutan, jangan berkurang. Masyarakat bisa diajak untuk beragroforestri sambil merestorasi ekosistem dan memperkuat perlindungan hutan. Itu harus menjadi prioritas yang diterapkan bukan hanya di atas kertas, tetapi dalam aksi nyata.

Apalagi hutan Jambi bukan sekadar milik Suku Anak Dalam, melainkan milik dunia. Hutan adalah paru-paru yang bernapas untuk semua, menyerap karbon, menyaring udara, dan menyediakan keseimbangan ekosistem.

Saat berbicara tentang pengurangan emisi, tidak bisa lepas dari kewajiban untuk menjaga hutan agar tetap lestari. Hutan adalah jembatan yang menghubungkan generasi saat ini dengan masa depan yang lebih hijau dan bersih.

Sebagaimana masyarakat rimba dan masyarakat adat, mereka yang dianggap hidup dalam kesederhanaan, ternyata memegang teguh rahasia yang begitu mendalam tentang keberlanjutan.

Sore itu, Betapi tersenyum dan melambai saat harus berpisah. Wajahnya seperti mengirimkan pesan dari dalam hutan untuk semua di luar sana: “Rawatlah hutan ini, karena di sini kami hidup untuk kalian.”

Faktanya, Indonesia bukan hanya bangsa besar karena jumlah penduduknya atau luas wilayahnya, tetapi juga karena hutan-hutannya yang kaya. Manusianya, yang berutang pada alam, punya tanggung jawab untuk menjaga paru-paru dunia ini tetap bernapas.

Perjalanan ini bukan hanya membawa satu pertemuan dengan Betapi dan Suku Anak Dalam lainnya, melainkan juga menyadarkan bahwa melestarikan hutan ibarat menjaga harapan.

Tidak sekadar cerita tentang masa lalu, tetapi warisan untuk masa depan. Jika bangsa ini serius ingin memenangkan pertempuran melawan perubahan iklim, maka tugas ini adalah panggilan dari leluhur yang tak bisa diabaikan.

Editor: Achmad Zaenal M
 

Copyright © ANTARA 2024