Lima menit kemudian barulah Xu menyadari bahwa dia sebenarnya sedang berbicara dengan bot kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).
"Penyiarnya tampak seperti orang sungguhan dan menanggapi semua komentar saya dengan sangat wajar dan tepat," kata Xu, seorang mahasiswa berusia 22 tahun di Universitas Hong Kong China. Penyiar tersebut berinteraksi dengan lebih dari 800 pemirsa tanpa kesalahan atau jeda, ujarnya lebih lanjut.
Di sisi lain layar, empat penyiar AI dioperasikan oleh satu komputer di Kota Wuhu, Provinsi Anhui, China timur. Robot-robot tersebut dapat secara otomatis berinteraksi dengan para pelanggan yang bertanya sepanjang malam, sehingga rekan manusia mereka dapat terhindar dari stres karena bekerja hingga larut malam.
Banyak sekali aplikasi AI yang menjamur di tengah pesatnya perkembangan teknologi di China, jadi tidak mengherankan jika penyiar AI menjadi bagian dari "Double Eleven", festival belanja daring terbesar di negara itu, yang biasanya dimulai pada Oktober dan berakhir pada 11 November.
Di China, toko daring biasanya meningkatkan penjualan dengan merekrut livestreamer, yang biasanya adalah pemengaruh (influencer) media sosial atau tenaga penjualan profesional, untuk memamerkan produk mereka dan berinteraksi dengan para pembeli. Menurut laporan dari cabang livestreaming Asosiasi Seni Pertunjukan China, per Desember 2023, lebih dari 15 juta orang telah menerjuni penyiaran daring sebagai profesi utama mereka.
"Satu toko membutuhkan sekitar enam penyiar untuk livestreaming selama 24 jam, tetapi ini mahal karena penyiar manusia membutuhkan studio, pencahayaan, dan berbagai bentuk dukungan lainnya," ujar Han Wei, yang bertanggung jawab atas layanan livestreaming Three Squirrels, sebuah perusahaan makanan ringan.
Livestreamer robot dapat memangkas biaya livestreaming bagi perusahaan setidaknya hingga separuhnya, tuturnya.
"Saat ini, semakin banyak anak muda yang gemar berbelanja daring sebelum tidur, tetapi itu adalah waktu yang sulit bagi penyiar manusia. Di situlah penyiar AI yang tak kenal lelah, stabil, dan presisi berperan. Mereka sangat cocok menjalankan pekerjaan itu," kata Han. Karyawan AI perusahaan tersebut telah meningkatkan penjualan tengah malam hingga lebih dari 30 persen selama festival belanja "11.11" tahun ini, imbuhnya.
Sun Jing, manajer umum TU Reality yang menawarkan layanan "manusia virtual", mengatakan bahwa livestreamer AI perusahaannya dapat menyesuaikan segala hal mulai dari penampilan hingga suara mereka agar sesuai dengan audiens sasaran.
Menurut Sun, hanya diperlukan beberapa foto untuk membuat avatar AI, dan beberapa jam pembelajaran komputer dapat melatih penyiar yang siap digunakan. Ini sangat menurunkan ambang batas teknis untuk studio penyiaran skala menengah dan kecil.
Namun, penyiar AI tidak selalu ahli dalam segala hal, terutama dalam hal livestreaming pada jam sibuk yang membutuhkan semangat dan kemampuan untuk berimprovisasi.
"Tidak seperti livestreamer nyata yang menampilkan perubahan emosi, penyiar AI agak datar dan terlalu ramah. Itulah mengapa saya merasa agak tidak yakin setelah sekitar lima menit," ujar Xu.
Karena itu, Han dan koleganya memutuskan menggunakan AI hanya saat di luar jam sibuk, termasuk setelah tengah malam, untuk mempromosikan produk yang memerlukan deskripsi mendetail serta berulang, dan menyerahkan jam-jam paling sibuk kepada livestreamer manusia.
Namun, masih ada kekhawatiran bahwa profesi ini akan digantikan oleh AI.
"Kami berusaha membuat setiap siaran unik dan berharap dapat memberikan lebih banyak dukungan emosional bagi audiens kami melalui interaksi yang dipersonalisasi. Itulah cara kami mempertahankan pekerjaan kami," ungkap Keke, penyiar muda dari Three Squirrels. Tidak bisa dipungkiri lagi akan semakin banyak pekerjaan kelas bawah yang nantinya diambil alih oleh AI, katanya menambahkan.
"Tidak ada batasan untuk AI, dan ini baru permulaan. Yang perlu kita lakukan adalah berupaya membedakan diri dari komputer, sebagai manusia yang unik," tutur Sun.
Pewarta: Xinhua
Editor: Santoso
Copyright © ANTARA 2024