Gen-Z tak percaya

Sebaliknya, kaum progresif di Amerika dan kaum Gen-Z, tidak puas dengan gambaran seragam tentang Gaza seperti itu, yang mereka simpulkan sudah bias sekali.

Mereka tak percaya kepada versi Gaza yang dibuat media arus utama yang sebagian besar memang mengandalkan laporan dari Israel yang sudah bias. Bahkan wartawan dan pakar media di Israel, Oren Perscio, dalam wawancara dengan +972 Magazine yang disiarkan pada 16 Oktober 2024, menyebut laporan media Israel melulu berisi propaganda.

Akhirnya, kaum muda di AS dan juga di negara-negara Barat lain mencari media alternatif seperti Intercept, Aljazera, bahkan laporan netizen dalam platform-platform sosial, khususnya TikTok yang tak dikendalikan oleh AS dan Barat.

Pola konsumsi media yang tak mempercayai media arus utama ini mendorong kaum muda di Barat menafsirkan sendiri situasi Gaza, termasuk dalam melihat peristiwa-peristiwa kemanusiaan penting yang berkaitan dengan Israel, seperti holocaust.

Jajak pendapat Pew Research Centre yang dipublikasikan akhir Maret 2024 misalnya, menyebutkan bahwa seperlima penduduk AS yang berusia 18-29 tahun menganggap holocaust sebagai mitos, sementara 10 persen Gen Z di negara itu yakin Yahudi yang justru mengawali holocaust.

Gen Z ini pula yang menjadi motor gerakan solidaritas Palestina di Amerika Serikat pertengahan tahun ini yang kemudian menyebar ke Eropa dan banyak negara di dunia.

Gerakan mereka semakin besar dan luas karena sikap pemerintahan Barat dan Israel sendiri yang tidak imbang dalam mengungkap keadaan di Gaza dan Palestina. Belakangan ini sentimen pro-Palestina itu merasuk ke semua matra kehidupan, termasuk kompetisi olahraga.

Pendukung tuan rumah mengibarkan bendera untuk mendukung Palestina di tengah konflik antara Israel dan Hamas saat menyaksikan laga Grup A Liga Champions antara Galatasaray melawan Manchester United di RAMS Park, Istanbul, Turki, Rabu (29/11/2023). Galatasaray berhasil menahan imbang Manchester United dengan skor 3-3. ANTARA FOTO/REUTERS/Murad Sezer/Spt.
Belakangan ini saja, para pendukung sepak bola Eropa, mulai Celtics di Skotlandia sampai Paris Saint Germain di Prancis, berulang kali melakukan tindakan provokatif di dalam stadion dengan membentangkan bendera Palestina dan meneriakkan yel-yel pro-Palestina.

Belum lama ini pula pendukung Besiktas dari Liga Turki, yang akan menjadi lawan Maccabi berikutnya dalam Liga Europa, mengancam melakukan hal lebih keras dari pada dilakukan pendukung Ajax Amsterdam pekan lalu itu.

Kecenderungan-kecenderungan ini membuat beberapa kalangan di Eropa khawatir kejadian di Amsterdam merembet ke ajang-ajang lain termasuk UEFA Nations League ketika mulai akhir pekan ini Israel dan tim-tim Eropa, bertemu satu sama lain dalam pertandingan bersistem kandang-tandang.

Kekhawatiran itu menunjukkan siklus protes pro-Palestina dan anti-Israel tak akan segera berakhir, karena sangat tergantung kepada sikap pemerintah-pemerintah Barat dan Israel dalam menyelesaikan tidak hanya masalah Gaza, tapi juga persoalan Palestina secara keseluruhan.

Bahkan, jika berlarut-larut sampai beberapa tahun ke depan, peristiwa Amsterdam bisa terjadi pula dalam Piala Dunia 2026, jika Israel lolos dan saat bersamaan perpolitikan AS memanas oleh friksi politik antara kaum progresif di negara itu dengan Presiden Terpilih Donald Trump yang sejak awal memberi angin kepada pemerintahan kanan ekstrem Israel pimpinan Benjamin Netanyahu.

Baca juga: Bentrokan suporter bola Israel-Belanda picu ketegangan di Amsterdam

Copyright © ANTARA 2024