Jakarta (ANTARA) - United Nations Development Programme (UNDP) Indonesia merekomendasikan Indonesia memiliki indeks inklusivitas digital untuk mengatasi ketimpangan dan kesenjangan sosial masa depan digital Indonesia.

“Kami mengusulkan pembentukan Indonesia indeks inklusivitas digital yang mencakup berbagai dimensi akses digital, literasi, serta keterlibatan yang mampu mencerminkan nuansa lokal yang beragam,” kata Kepala Perwakilan UNDP Indonesia, Norimasa Shimomura dalam acara rilis publikasi kebijakan UNDP di Jakarta, Senin.

Shimomura menyampaikan teknologi digital tidak menjamin inklusi digital atau pemberdayaan digital. Transformasi digital hanya bisa berhasil jika menjangkau setiap individu di Indonesia dan memungkinkan mereka untuk memperluas pilihan serta membuat keputusan, tanpa memandang lokasi, jenis kelamin, atau status sosial dan ekonomi mereka.

“Jika kita menggunakan teknologi digital untuk memungkinkan negara ini mencapai peningkatan ekonomi yang diinginkan secara inklusif, bagaimana melakukannya? Tentu saja, harus bisa memonitor di mana kita berada saat ini dan bagaimana kita berjalan dalam hal inklusif digital,” ucapnya.

Sedangkan, berdasarkan laporan UNDP Indonesia, masih terdapat tiga tantangan menuju transformasi digital Inklusif di Tanah air. Pertama, kesenjangan digital yang signifikan yang dipengaruhi oleh lokasi geografis, perbedaan antara daerah perkotaan dan pedesaan, usia, pendidikan, serta gender.

Pada 2022, akses internet sangat tinggi di Jakarta dengan 85 persen untuk kelompok usia 5 tahun ke atas, sedangkan di Papua hanya 26 persen. Begitu juga dengan akses internet di rumah tangga di perkotaan yang mencapai sekitar 91 persen, sementara di pedesaan hanya 81 persen.

“Meskipun kesenjangan gender semakin menyempit, perempuan, terutama yang tinggal di pedesaan dan lansia, serta mereka yang memiliki tingkat pendidikan rendah, masih menghadapi tantangan besar dalam hal akses dan literasi digital,” ucap Shimomura.

Tantangan kedua berkaitan dengan hak dan etika digital. UNDP Indonesia menilai perlindungan data yang lemah dan kerentanan terhadap pelanggaran privasi data menjadi tantangan dalam memperluas ekonomi digital Indonesia dan platform e-government.

Sedangkan tantangan ketiga adalah polarisasi dan efek ruang gema (echo chambers). UNDP menilai platform daring dapat memperkuat ruang gema politik, mengisolasi pengguna dalam kelompok yang memiliki pemikiran yang sama, sehingga berpotensi memperdalam kesenjangan sosial dan membatasi terciptanya ruang dialog.

“Algoritma digital memisahkan individu dari pandangan politik yang berbeda, hanya menyajikan opini yang memperkuat pandangan mereka sendiri, dan dengan demikian memperdalam perpecahan sosial,” ujarnya.

Shimomura menyampaikan bahwa sejumlah negara anggota OECD dan G20 telah menerapkan Indeks Inklusivitas Digital sehingga Indonesia dapat belajar dari pengalaman negara-negara tersebut.

“Saya pikir Indonesia bisa mencoba untuk memperkenalkan dan belajar dari beberapa pengalaman ini, dan juga berbagi pengalamannya dengan negara G20 dan ASEAN lainnya,” kata Shimomura.

Baca juga: Membangun karakter bangsa dengan iman, takwa, dan literasi digital
Baca juga: OJK: Literasi keuangan digital cegah masyarakat dari pinjol ilegal
Baca juga: Komunitas lokal diajak menjadi agen literasi digital


Pewarta: Kuntum Khaira Riswan
Editor: M Razi Rahman
Copyright © ANTARA 2024