“Program ini kan dimaksudkan untuk memperbaiki status gizi anak sekolah, dengan terpenuhinya asupan gizi yang cukup diharapkan dapat meningkatkan performa belajar dari anak-anak tersebut dan mendukung kebutuhan gizi untuk pertumbuhannya,” katanya saat dihubungi di Jakarta, Senin.
Hanya saja, katanya, kegiatan tersebut harus diperinci dengan benar mulai dari gizi dan kelompok sasaran sehingga program tersebut tidak sia-sia untuk menciptakan generasi masa depan yang cemerlang pada 2045.
Dia mengimbau pemerintah benar-benar memperhatikan kandungan gizi dari menu yang nantinya dibagikan kepada anak-anak sekolah, ibu hamil dan balita yang memang menjadi sasaran program tersebut.
Menurut dia, terdapat juga kelompok-kelompok yang perlu mendapat perhatian lebih seperti kelompok anak usia 2-5 tahun. Dalam usia tersebut, diperlukan pemenuhan asupan gizi yang seimbang.
Ia mengatakan peran pemerintah dalam menyejahterakan ibu hamil juga dibutuhkan. Kandungan yang mendapatkan asupan gizi seimbang dapat bermanfaat untuk tumbuh kembang anak tersebut.
“Nah kalau mencetak generasi emas, seperti tadi saya katakan bahwa masa pertumbuhan otak kan dibentuk sejak dalam kandungan dan 90 persen selesai dalam lima tahun pertama kehidupan. Jadi kalau mau di 2045 kita memiliki generasi emas dengan SDM berkualitas, artinya perhatian dari 1.000 hari pertama kelahiran (HPK) menjadi salah satu kuncinya,” ujar dia.
Pemerintah juga perlu memperhatikan negara-negara yang sudah menjalani kegiatan serupa seperti Jepang. Negara tersebut dianggap berhasil menjalankan kegiatan memberikan makanan gratis kepada penduduk sehingga memiliki generasi berkualitas dan memberikan manfaat kepada tumbuh kembang generasi di Jepang.
“Zaman dulu kita mungkin kita tahunya orang Jepang pendek-pendek, tapi dengan program makan di sekolah mereka sekarang jadi tinggi-tinggi tuh,” ujar dia.
Program Shokuiku yang berarti “pendidikan makanan dan gizi”, katanya, suatu konsep yang tertanam kuat dalam program makanan sekolah nasional. Jepang memiliki sejarah panjang dan bertingkat dengan makanan sekolah atau "Kyushoku" dalam bahasa Jepang
Narila Mutia Nasir yang juga Dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu, menekankan pentingnya program tersebut menjadi jembatan dalam memberikan edukasi pentingnya mengonsumsi asupan gizi seimbang untuk tumbuh kembang anak sejak dalam kandungan.
“Nah, yang perlu kita tiru program Shokuiku di Jepang itu program makan bergizi di sekolah bukan hanya memberi makan tapi juga memberikan edukasi soal gizi dan menjadi bagian promosi kesehatan untuk mencegah penyakit tidak menular juga,” kata dia.
Baca juga: Pemerintah China dukung program makan bergizi gratis Presiden Prabowo
Baca juga: Pakar: Sumber karbohidrat dalam program makan bergizi tidak harus nasi
Baca juga: Pemprov Jateng pastikan katering makan bergizi gratis terverifikasi
Pewarta: Chairul Rohman
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2024