Mataram (ANTARA) - Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat mendalami dugaan keterlibatan suatu lembaga pelatihan kerja (LPK) di Kabupaten Subang, Jawa Barat, pada kasus tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan merekrut secara ilegal Pekerja Migran Indonesia (PMI) tujuan Jepang.

Direktur Reserse Kriminal Umum Polda NTB Kombes Pol. Syarif Hidayat dalam konferensi pers di Mataram, Senin, mengatakan bahwa LPK di Subang yang diduga terlibat dalam kasus TPPO di NTB ini menggunakan nama PT Sanusi.

"Ternyata ada PT Sanusi, LPK yang lebih tinggi lagi, yang berdomisili di Kabupaten Subang, Jawa Barat yang terima sebagian transfer uang dari LPK di kasus TPPO yang sedang kami tangani di tahap penyidikan," kata dia

Untuk mengetahui peran dan keterlibatan LPK PT Sanusi dalam kasus TPPO tersebut, Syarif memastikan pihaknya kini sedang membangun koordinasi dengan Bareskrim Polri dan Polda Jawa Barat.

"Jadi, PT Sanusi ini masuk dalam pengembangan kasus. Untuk memastikan keterlibatannya, kami koordinasikan dengan Bareskrim Polri dan Polda Jawa Barat," ujarnya.

Dua tersangka dalam kasus TPPO yang ditangani Polda NTB ini berinisial SE dan WS yang diduga melanggar Pasal 11 juncto Pasal 4 Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan/atau Pasal 81 jo. Pasal 69 UU RI No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.

Tersangka SE dalam kasus ini merupakan Direktur PT Radar Sumedi Efendi Indonesia (RSEI) yang berkantor di Kabupaten Lombok Timur.

Syarif mengungkapkan bahwa perusahaan milik SE tidak memiliki izin untuk menyelenggarakan magang atas penempatan kerja PMI ke Jepang.

Selanjutnya, peran tersangka WS sebagai pemilik Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) Wahyu Yuha yang berkantor di Ampenan, Kota Mataram.

Dalam kasus ini, WS terungkap menyalahgunakan izin LPK dengan merekrut para korban untuk bekerja di Jepang melalui perusahaan milik tersangka SE.

"Jadi, para korban direkrut oleh tersangka WS dalam periode Desember 2023 sampai Juni 2024 dengan modus operandi menjanjikan kerja magang di Jepang melalui PT RSEI yang berkantor di Lombok Timur," ujarnya.

Dalam periode perekrutan tersebut, tersangka SE terungkap menghimpun dana dari para korban sebanyak Rp630 juta dengan mendapat keuntungan pribadi Rp168 juta.

Sedangkan, tersangka WS menghimpun dana dari perekrutan korban sebesar Rp926 juta dengan mendapat keuntungan pribadi Rp296 juta.

"Keuntungan yang didapatkan kedua tersangka dalam periode perekrutan Desember 2023 sampai Juni 2024 ini didapatkan dari 28 korban. Tetapi, yang baru lapor 17 orang, masing-masing korban yang lapor ini 6 orang antaranya dari Mataram, 5 orang dari Lombok Barat, 4 dari Lombok Tengah, dan 2 orang dari Lombok Utara, jadi masih ada 11 korban lainnya yang belum lapor," ucap dia.

Adapun barang bukti yang disita dalam kasus ini adalah 2 lembar kegiatan belajar di LPK Wahyu Yuha, 1 lembar kontrak kerja, 60 dokumen persyaratan dari korban, berupa ijazah pendidikan, akta kelahiran, dan curriculum vitae.

Kemudian, ada juga sertifikat akreditasi PT RSEI, profil LPK Wahyu Yuha, akta pendirian lembaga dan perusahaan, surat perjanjian kerja sama, 11 kuitansi biaya pendaftaran dari para korban, 30 buku tabungan, dan satu unit komputer.

Dari pemeriksaan barang bukti sitaan terungkap peran PT Sanusi yang menerima kiriman uang dalam bentuk transfer dari PT RSEI. Hal itu terlihat dari bukti transfer yang disita.

Pewarta: Dhimas Budi Pratama
Editor: Hisar Sitanggang
Copyright © ANTARA 2024