Pemerintah perlu meninjau ulang aturan kemasan polos agar tidak merugikan pihak-pihak tertentu.
Jakarta (ANTARA) - Asosiasi Retail Vape Indonesia (Arvindo) menyatakan penerapan aturan kemasan polos akan berdampak langsung pada industri rokok elektronik di Indonesia, terutama bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang menjadi mayoritas pelaku usahanya.

Menurut Ketua Arvindo Fachmi Kurnia, hilangnya merek dagang akan merugikan produsen legal dan kreativitas usaha, yang akhirnya bisa melemahkan posisi industri lokal dalam persaingan di pasar.

"Dengan menghilangkan karakteristik visual yang unik, merek dagang tidak lagi memiliki nilai diferensiasi, dan kreativitas terhadap membangun sebuah brand akan hilang," ujar Fachmi dalam keterangannya, di Jakarta, Senin.

Dia menegaskan aturan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek dapat menghambat peralihan konsumen ke produk tembakau alternatif yang memiliki risiko lebih rendah.

Saat ini, ujarnya pula, konsumen masih kesulitan mengenali rokok elektronik yang legal, ditambah adanya kebijakan ini, maka dampaknya semakin mendorong maraknya produk ilegal dengan harga murah.

"Pada akhirnya, kebijakan tersebut akan merugikan pemerintah," katanya pula.

Kebijakan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek, tertuang di dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik.

Aturan tersebut merupakan produk turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Undang-Undang (UU) Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023.

Oleh karena itu, katanya lagi, pemerintah perlu meninjau kembali aturan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek dan melibatkan para pelaku usaha dalam pembahasannya.

"Penting agar regulasi yang dihasilkan tidak hanya efektif dalam melindungi kesehatan masyarakat, tetapi juga mempertimbangkan keberlanjutan industri dan daya saing pelaku usaha," katanya.

Senada dengan itu, praktisi merek dan pemasaran Yuswohady menyatakan, dengan penyeragaman menjadi kemasan tanpa identitas merek, maka akan merugikan pelaku usaha dan konsumen secara langsung.

Bagi pelaku usaha, katanya pula, kelangsungan bisnisnya bakal terancam menurunkan omzet toko karena mendorong perilaku konsumen membeli produk yang murah, bukan berdasarkan pertimbangan atas kualitas produk. Adapun konsumen akan kebingungan dalam memilih produk berkualitas.

Menurut dia, dampak terburuk dari penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek adalah hilangnya merek dagang, dilihat dari sisi pemasaran, dampaknya akan banyak muncul produk murah.

"Yang dikhawatirkan konsumen mencari merek apapun yang cenderung murah. Jadi tidak bersaing soal kualitas, malah bersaing untuk harga murah," katanya lagi.

Dia menyatakan pula, kehadiran produk rokok elektronik dengan harga murah akan memicu munculnya produk ilegal, sebab, yang menjadi persaingan di pasar adalah harga murah, bukan berdasarkan kualitas produk.

"Saya kira pasar rokok elektronik akan mengalami kemunduran karena produk legal akan bersaing dengan produk ilegal yang lebih murah," ujarnya.

Yuswohady berharap pemerintah mengkaji kembali wacana kebijakan tersebut, pertimbangannya, industri rokok elektronik melibatkan berbagai rantai nilai yang luas, salah satunya cukai yang selama ini menjadi salah satu sumber pendapatan negara.

Selain itu, terdapat pelaku usaha dan tenaga kerja yang sangat bergantung terhadap keberlangsungan industri tersebut.

“Pemerintah perlu meninjau ulang aturan kemasan polos agar tidak merugikan pihak-pihak tertentu,” ujarnya lagi.
Baca juga: Asosiasi minta kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek dikaji ulang
Baca juga: Pakar hukum soroti wacana penyeragaman kemasan rokok tanpa merek

Pewarta: Subagyo
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2024