WS terungkap menyalahgunakan izin LPK dengan merekrut para korban untuk bekerja di Jepang melalui perusahaan milik tersangka SEMataram (ANTARA) - Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Barat membongkar kasus dugaan penipuan bermodus perekrutan Pekerja Migran Indonesia (PMI) tujuan Jepang dengan menetapkan dua tersangka berinisial WS dan SE.
Direktur Reserse Kriminal Umum Polda NTB Kombes Pol. Syarif Hidayat dalam konferensi pers di Mataram, Senin, menyampaikan bahwa pengungkapan kasus ini berawal dari tindak lanjut laporan 17 korban yang merasa tertipu dengan modus kedua tersangka.
"Jadi, korban dalam kasus ini diminta keluarkan uang dengan kisaran Rp30 juta sampai Rp50 juta per orang untuk pendaftaran, karena sampai saat ini tidak juga diberangkatkan, korban yang merasa dirugikan kemudian lapor ke kami dan dari hasil penyidikan kami tetapkan dua tersangka," kata Kombes Pol. Syarif Hidayat.
Dari proses penyidikan, Syarif memaparkan peran kedua tersangka. Untuk tersangka laki-laki berinisial SE merupakan Direktur PT Radar Sumedi Efendi Indonesia (RSEI) yang berkantor di Kabupaten Lombok Timur.
Dia mengungkapkan bahwa perusahaan milik SE tidak memiliki izin untuk menyelenggarakan magang atas penempatan kerja PMI ke Jepang.
Baca juga: Polda NTB mulai penyelidikan kasus penipuan legislator
Selanjutnya, peran tersangka WS sebagai pemilik Lembaga Pelatihan Kerja (LPK) Wahyu Yuha yang berkantor di Ampenan, Kota Mataram.
Dalam kasus ini, WS terungkap menyalahgunakan izin LPK dengan merekrut para korban untuk bekerja di Jepang melalui perusahaan milik tersangka SE.
"Jadi, para korban direkrut oleh tersangka WS dalam periode Desember 2023 sampai Juni 2024 dengan modus operandi menjanjikan kerja magang di Jepang melalui PT RSEI yang berkantor di Lombok Timur," ujarnya.
Dalam periode perekrutan tersebut, tersangka SE terungkap menghimpun dana dari para korban sebanyak Rp630 juta dengan mendapat keuntungan pribadi Rp168 juta, sedangkan tersangka WS menghimpun dana dari perekrutan korban sebesar Rp926 juta dengan mendapat keuntungan pribadi Rp296 juta.
"Keuntungan yang didapatkan kedua tersangka dalam periode perekrutan Desember 2023 sampai Juni 2024 ini didapatkan dari 28 korban. Tetapi, yang baru lapor 17 orang, masing-masing korban yang lapor ini, 6 di antaranya dari Mataram, 5 orang dari Lombok Barat, 4 dari Lombok Tengah, dan 2 orang dari Lombok Utara, jadi masih ada 11 korban lainnya yang belum lapor," ucap dia.
Baca juga: Anggota DPRD Lombok Tengah jadi tersangka kasus pemalsuan ijazah
Adapun barang bukti yang disita dalam kasus ini adalah 2 lembar kegiatan belajar di LPK Wahyu Yuha, 1 lembar kontrak kerja, 60 dokumen persyaratan dari korban, berupa ijazah pendidikan, akta kelahiran, dan curriculum vitae.
Ada juga sertifikat akreditasi PT RSEI, profil LPK Wahyu Yuha, akta pendirian lembaga dan perusahaan, surat perjanjian kerja sama, 11 kuitansi biaya pendaftaran dari para korban, 30 buku tabungan, dan satu unit komputer.
"Jadi, berangkat dari pemeriksaan barang bukti dokumen, keterangan saksi dan korban, ahli, kami tetapkan keduanya sebagai tersangka dalam proses penyidikan ini dan keduanya sudah kami lakukan penahanan di Rutan Polda NTB," kata Syarif.
Dalam penetapan tersangka, penyidik menerapkan sangkaan Pasak 11 juncto Pasal 4 Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan/atau Pasal 81 jo. Pasal 69 UU RI No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
"Dari pasal yang kami kenakan, kedua tersangka kini terancam pidana hukuman paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dengan denda sedikitnya Rp120 juta dan paling banyak Rp600 juta," ujarnya.
Pewarta: Dhimas Budi Pratama
Editor: Edy M Yakub
Copyright © ANTARA 2024