Deklarasi Aceh semacam intisari dari para delegasi, merefleksi apa yang terjadi pada 20 tahun ke belakang dan dijadikan sebagai penentu langkah untuk 20 tahun ke depan...

Aceh (ANTARA) - Sebanyak 54 negara peserta Forum Second UNESCO-IOC Global Tsunami Symposium melahirkan kesepakatan bersama dalam upaya mitigasi bencana tsunami global yang diberi nama Deklarasi Aceh.

Second UNESCO-IOC Global Tsunami Symposium di Aceh pada 10-14 November 2024 merupakan acara yang diinisiasi UNESCO-IOC bersama Pemerintah Indonesia melalui Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) untuk penguatan strategi mitigasi bencana tsunami berbasis teknologi dan masyarakat.

"Deklarasi Aceh semacam intisari dari para delegasi, merefleksi apa yang terjadi pada 20 tahun ke belakang dan dijadikan sebagai penentu langkah untuk 20 tahun ke depan, semua belajar dari pengalaman masa lalu negara dalam menghadapi tsunami," kata Chair of The Programming Committee Second UNESCO-IOC Global Tsunami Symposium Harkunti P. Rahayu saat ditemui disela-sela forum simposium di Aceh, Senin.

Menurut Harkunti, dunia belajar banyak dari peristiwa tsunami Aceh 2004 yang menyebabkan dampak kerusakan sangat besar ratusan juta jiwa kehilangan sanak keluarganya, khususnya bagi negara kawasan Samudra Hindia.

Baca juga: RI dinilai layak jadi acuan dunia, kembangkan peringatan dini tsunami

Maka dari itu, lanjutnya, para delegasi dari negara kawasan yang rawan tsunami seperti Jepang, Seychelles, Bangladesh, India, Uni Emirat Arab, Maroko, China, dan Amerika Selatan, mengejawantahkan berbagai pengalaman sekaligus apa solusi yang dilahirkan oleh masing-masing negara untuk mengurangi dampak bencana ini di masa depan dalam Deklarasi Aceh.

Kalangan ahli menilai upaya mitigasi mengerucut dalam dua hal yakni penguatan strategi mitigasi bencana tsunami berbasis teknologi yang juga melibatkan partisipasi aktif masyarakat sehingga menjadi tema besar "Second UNESCO-IOC Global Tsunami Symposium".

"Keduanya adalah menjadi sebuah kebutuhan yang mendesak khususnya bagi Samudra Hindia, Karibia, Mediterania, hingga Laut Utara," ujarnya.

Baca juga: BMKG serap pengalaman ilmuwan dunia peringatan dini tsunami nonseismik

Harkunti mengungkapkan dalam hal ini sistem peringatan dini tsunami Indonesia (Indonesia Tsunami Early Warning System/InaTEWS) yang dioperasikan BMKG memainkan peran penting untuk mengurangi risiko tsunami Samudra Hindia.

InaTEWS yang pertama kali dikembangkan dua tahun setelah tsunami Aceh itu saat ini sudah dilengkapi dengan teknologi canggih berbasis sensor hingga Artificial Intelligence (AI) dan big data sehingga menjadi andalan bagi 28 negara di wilayah.

"Memanfaatkan pengalaman dan inovasi yang terus berkembang. Deklarasi Aceh menjadi panduan bagi negara-negara di dunia dalam merespons ancaman tsunami. Di dalamnya kesiapan masyarakat merespons potensi bencana harus ditingkatkan," ujar Harkunti yang juga ketua Ikatan Ahli Kebencanaan Indonesia ini.

Baca juga: 12 desa di Indonesia diakui UNESCO berkompeten dalam hadapi tsunami

Pewarta: M. Riezko Bima Elko Prasetyo
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2024