Sejak usia dini, anak-anak harus diajarkan untuk melewati sebuah proses alih-alih mendapatkan sesuatu secara instan

Jakarta (ANTARA) - Judi online sudah seperti wabah di Tanah Air, menjerat banyak orang dengan ilusi menjadi kaya atau mendapatkan kesenangan instan.

Transaksinya pun melesat 237,48 persen, menjangkiti kalangan usia dewasa, remaja, hingga anak-anak di bawah 10 tahun.

Data yang mencengangkan ini patut diwaspadai terutama oleh para orang tua. Setidaknya 2 persen dari populasi Indonesia terjebak candu judi online atau daring. Klinik Adiksi di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) menyebut fenomena ini sebagai bencana nasional.

Kecanduan judi daring merupakan masalah yang sangat besar karena jika diumpamakan ada satu orang yang mengalami kecanduan judi ini, maka ada tujuh orang yang akan terdampak.

Lebih parah lagi, adiksi ini juga bisa merusak generasi muda. Dampak yang terjadi pada otak dari kecanduan judi ini sama dengan dampak kecanduan narkoba. Candu keduanya merusak bagian otak yang berguna untuk konsentrasi, memori, refleksi diri, serta mengambil keputusan.

Faktanya, kelompok anak-anak dan remaja memang lebih berisiko tinggi mengalami kecanduan. Hal ini terjadi karena area otak bagian depan baru matang di usia 20 tahun (untuk perempuan), dan 21 tahun (bagi laki-laki).

Otak bagian depan atau cortex prefontal berfungsi untuk mengendalikan perilaku sehingga sangat memungkinkan bagi remaja untuk berperilaku impulsif karena otak bagian depannya belum matang.

“Awalnya iseng, penasaran,” ujar seorang siswa berusia 18 tahun.

Ia mengaku bermain judi slot dan pernah mendapatkan kemenangan sebesar 23 juta, nilai yang cukup besar bagi anak seusia dia. Dari uang tersebut, ia gunakan untuk berbelanja. Sampai sekarang ia belum bisa berhenti.

“Sebenarnya mau, tapi susah berhenti,” ungkapnya.

Kembali pada pola asuh

Judi daring kerap kali dimulai dari rasa penasaran yang menjelma menjadi kebiasaan. Aktivitas ini semakin sulit diempaskan karena maraknya iklan yang kian mendorong seseorang untuk mencobanya terus menerus.

Di antara rasa penasaran dan kebiasaan, ada tekanan sosial yang menjadi faktor lain seseorang mencoba judi ini. Saat mereka menyelami media sosial, konten-konten yang bertebaran menggugahnya untuk memiliki sesuatu yang viral.

Ilusi untuk mengubah gaya hidup seperti yang banyak terpampang di media sosial menjadikan judi online sebagai salah satu peraduan.

Anak-anak maupun remaja, yang memang belum memiliki otak bagian depan yang matang, menjadi kelompok yang paling rentan terjebak dalam pusaran candu judi daring.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan anak yang terpapar judi online di Indonesia meningkat hingga 300 persen.

Copyright © ANTARA 2024