Jakarta (ANTARA News) - Pada salah satu tenda di pinggir Jl. Haji Agus Salim atau dulu disebut Jl. Sabang, Jakarta Pusat, terbentang banner "Aneka Kolak Ibu Mumun".
Anda tak akan menjumpai pojok jajan ini pada hari-hari biasa, karena situs kuliner ini hanya ada selama Ramadhan.
Pembelinya pun dadakan, tetapi jangan ragukan "antusiasme" penyukanya, alias pembelinya.
Meski hanya mendagangkan gorengan, kolak, lontong, bihun yang sudah dikemas dalam kotak plastik kecil, dan penganan-penganan sejenisnya, tenda jajan ini, seperti pula terjadi pada banyak tenda serupa di seantero Jakarta, diserbu para pembeli, terutama saat hari memasuki sore hingga menjelang Magrib ketika buka puasa tiba.
Gorengan adalah makanan favorit yang selalu laris, tak terkecuali di tenda "Aneka Kolak Ibu Mumun".
Meski hanya muncul sebulan dalam setiap 12 bulan, usaha kuliner musiman ini sudah dijalani sang pemilik tenda sejak 15 tahun silam. Tetapi, saat ini Anda tidak bisa lagi mendapati Ibu Mumun melayani Anda jika kebetulan Anda jajan Ramadhan di tenda ini.
"Sekarang ibu bagian masak, sudah tidak kuat kalau berjualan. Jadi, yang berjualan di sini anak-anaknya," kata Diah (39), yang kini bertanggung jawab meneruskan dan mengurus usaha yang dirintis sang ibu.
Di bawah banner "Aneka Kolak Ibu Mumun" bergambarkan wajah Ibu Mumun itu tersaji penganan-penganan khas buka puasa yang sepertinya sudah umum ditemui di mana pun di sudut ibukota.
Entah mengapa warga Jakarta begitu suka berbuka dengan penganan-penganan seperti ini, setidaknya itu terlihat di kawasan Sabang, Jakarta Pusat.
Mungkin karena praktis dan harga yang murah. Berbicara tentang harga, makanan di pojok-pojok Ramadhan memang terbilang murah. Sepotong gorengan dan lontong dihargai Rp2.000, sedangkan segelas atau sekantong kecil kolak hanya butuh Rp7.000 untuk mendapatkannya. Masih ada bihun dan kwitau. Nah yang ini harganya masing-masing Rp3.000 dan Rp5.000.
Tak hanya keluarga Mumun, Nur (42) yang sebelumnya berjualan pecel lele di seputaran Sabang, juga memanfaatkan momen Ramadhan dengan berjualan aneka takjil untuk berbuka puasa.
Tak beda dengan warung Ibu Mumun, harga dan aneka makanan yang dijual pun hampir sama.
Demi aneka makanan ini siap tersaji untuk dibeli para penyukanya, Nur mulai memasak makanan dagangannya ini pukul 7 pagi. Tujuh jam kemudian, pada pukul 14.00 WIB, biasanya dia sudah pergi ke kawasan Sabang yang adalah salah satu situs kuliner terpopuler di Jakarta, dengan menggunakan motor dan bajay.
Seperti pula Ibu Mumun, Nur yang yang betempat tinggal di daerah Cikini, Jakarta Pusat, ini juga telah lama berjualan aneka makanan untuk buka puasa.
"Sudah 13 tahun, setiap Ramadhan saya berjualan di sini," akunya.
Dia memperoleh keuntungan bersih Rp300 ribu per hari dari menjual aneka gorengan dan kolaknya ini. Dan gorengan, lagi-lagi menjadi item jajan yang paling laris, dan tentu saja memberi kontribusi terbesar bagi perolehan keuntungan bersih per harinya itu.
Pembelinya datang dari berbagai kalangan. Dari ibu rumah tangga biasa, sampai para pegawai kantoran yang memang berkantor di sekitar kawasan Sabang.
"Saya suka beli gorengan. Teman-teman saya juga banyak yang nitip." kata Joe, seorang karyawan gerai makanan cepat saji Pizza Hut.
Sedangkan Ida (34), seorang ibu rumah tangga yang bertempat tinggal di kawasan Sabang, mengaku sering membeli gorengan untuk kelurga dan anak-anaknya berbuka puasa.
Tak semua suka gorengan dan kolak. Beberapa pembeli seperti Prisca (22), seorang karyawan swasta, malah punya makanan favorit lain yang juga didagangkan di kawasan Sabang di pinggir jalan.
"Saya lebih suka bubur," kata Prisca.
Ramadhan tinggal tiga hari dan pojok-pojok jajanan buka puasa di Sabang, serta kawasan lain di Jakarta, masih punya waktu selama itu untuk menarik lagi pembeli. Tetapi pada Ramadhan tahun depan, pojok-pojok jajan jelang buka puasa ini kemungkinan besar akan tetap seramai sekarang.
Oleh Arindra Meodia
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2014