Di stan pameran itu, berbagai rempah-rempah khas Indonesia. seperti lada berduri (lada murad atau pimenta), biji pala (nutmeg), dan bunga pala (mace), dengan teknik produksi yang berbeda dipamerkan.
Banyak pengunjung mengambil berbagai produk untuk mencium aromanya dan menanyakan informasi lebih lanjut.
"Kami dari Papua, Indonesia. Daerah kami terkenal sebagai penghasil pala," kata Sofia Ekawati, seorang manajer di Papua Global Spices.
Dia menyebutkan bahwa keluarganya telah lama berkecimpung dalam perdagangan bahan baku rempah-rempah, dan biji pala dapat digunakan dalam industri kuliner, farmasi, maupun kosmetik.
Menurut Sofia, dia membeli bahan baku dari para petani lokal dan mengolah bahan-bahan itu sendiri di pabriknya.
Berbeda dengan para pendahulunya, Sofia mulai berinovasi dalam proses produksi, yakni menggunakan prosedur mekanis untuk menciptakan produk yang lebih berkualitas, meski membutuhkan biaya yang lebih tinggi.
"Saya yakin kualitas produk yang diekspor dari Indonesia ke China saat ini levelnya rata-rata. Saya memiliki keyakinan yang besar terhadap pasar ini karena semakin tingginya tuntutan para konsumen China akan kualitas dan bersedia membayar untuk itu. Dan kami dapat menawarkan kualitas yang lebih tinggi," ujar wanita itu.
Pada saat diwawancara Sofia mengeluarkan sebuah toples kaca yang berisi produk padat berwarna putih susu dan mencelupkan tangannya ke dalamnya, lalu mengoleskannya ke tangan para pengunjung.
"Aromanya harum dan terasa lembut saat dioleskan di kulit. Ini adalah produk perawatan kulit yang terbuat dari biji pala," jelasnya.
Ini kali pertama bagi Sofia berpartisipasi dalam CIIE, dan dia berharap dapat menemukan distributor China untuk lebih memperluas pasar di China.
Saat ini, rempah-rempah lokal masih menjadi salah satu jenis komoditas Indonesia terpopuler yang diekspor ke pasar internasional, dan industri terkait memberikan kontribusi yang signifikan bagi perekonomian Indonesia.
Pewarta: Xinhua
Editor: Yuni Arisandy Sinaga
Copyright © ANTARA 2024