Jakarta (ANTARA) - Kemenangan Donald Trump dalam pemilihan presiden Amerika Serikat 2024 akan serta merta menimbulkan spidey sense (kemampuan untuk menyadari adanya peringatan bahaya) bagi mereka yang betul-betul memahami dampak perang dagang AS-China periode Trump sebelumnya.

Seperti halnya pada periode kepresidenan pertamanya, konsep atau garis merah yang menjadi dasar pemikiran Trump dalam menjabat sebagai kepala negara adalah "American First", yaitu mengutamakan kemenangan bagi negaranya (dan mengalahkan negara lain, tentu saja bagian terakhir ini tidak diucapkan lantang).

Bagaimana tidak, Trump dalam kampanyenya sudah "tebar pesona" dengan menyatakan akan menerapkan tarif masuk 60 persen pada produk yang diimpor dari China dan pajak sebesar 10--20 persen pada barang yang diimpor dari negara lain. Tidak perlu menjadi seorang guru besar ilmu perekonomian untuk mengetahui bahwa dengan adanya kebijakan itu, maka berbagai negara, termasuk Indonesia, memerlukan beban biaya yang lebih untuk melakukan ekspor ke AS.

Dalam logika di kepala Trump dan tim pendukungnya, dengan melakukan langkah kebijakan proteksionis--biasanya diejawantahkan dengan menaikkan tarif perdagangan atau aktivitas ekspor-impor-- maka hal tersebut akan membuat konsumen di AS akan membeli barang buatan dalam negeri, karena barang dari negara asing diperkirakan bakal berharga jauh lebih mahal.

Selain itu, Trump juga berpikir strategi tersebut akan membantu dalam meningkatkan kinerja perekonomian domestik sekaligus jurus ampuh dalam mengatasi inflasi. Padahal, berbagai kajian dan pakar ekonomi berpendapat bahwa langkah semacam itu malah akan menimbulkan dampak sebaliknya, yaitu harga barang yang naik dan semakin memberatkan konsumen di AS.

Kebijakan proteksionis melalui perang dagang AS-China juga banyak disorot karena tidak menghasilkan manfaat ekonomi yang signifikan bagi Amerika Serikat ketika itu, bahkan juga saat ini di mana Trump akan menjabat lagi. Apalagi, China saat perang dagang juga beberapa kali mengingatkan bahwa langkah AS itu hanya akan menimbulkan dampak negatif secara global, serta berbagai tuduhan AS terhadap China dinilai berupa spekulasi belaka tanpa adanya bukti kuat yang menunjang.

Parahnya lagi, kebijakan Joe Biden yang menggantikan Trump kala itu, tetap menjaga kebijakan tarif tinggi itu. Ditambah dengan faktor terjadinya pandemi COVID-19, maka sebenarnya tidak mengherankan bila inflasi kini menjadi momok sehari-hari yang harus dihadapi banyak warga AS.


Perang dagang antimultilateral

Perang dagang yang mengemuka sejak periode pertama kepemimpinan Presiden Trump di Gedung Putih juga sebenarnya dapat terkait dengan motif yang tertanam dalam pemikiran Trump, yaitu ketidaksukaannya akan pendekatan multilateral atau melibatkan banyak pihak.

Trump dikenal memiliki kecenderungan untuk melakukan pendekatan bilateral dan transaksional. Misalnya, dalam kampanyenya, dia mengancam akan mengenakan tarif sebesar 25 persen terhadap Meksiko bila gagal menghentikan para migran memasuki AS. Jika Meksiko dinilai tidak berhasil dalam melaksanakannya, Trump menyatakan tidak segan untuk menaikkan tarif perdagangan tersebut secara bertahap hingga 100 persen.

Berbagai kebijakan dari perang dagang hingga pendekatan bilateral-transaksional merupakan kabar yang tidak sedap bagi perekonomian Indonesia, yang cenderung melakukan diplomasi dengan penekanan kepada multilateralisme.

Pada saat puncak perang dagang AS-China pada masa pertama kepresidenan Trump (2017--2021), Indonesia juga dihantui oleh berbagai isu seperti gejolak perekonomian internasional akibat perang dagang hingga penurunan harga komoditas yang menjadi tumpuan ekspor RI. Belum lagi dengan kelesuan ekonomi global juga dinilai menyurutkan para investor dari berbagai negara untuk berinvestasi.

Sebenarnya, ada peluang besar yang dapat diambil dari perang dagang AS-China itu, yaitu relokasi pabrik sejumlah operasional perusahaan ke luar China. Namun, sepertinya peluang relokasi ini lebih banyak dimanfaatkan oleh negara-negara lainnya di kawasan Asia Tenggara, seperti Vietnam dan Malaysia.

Presiden Joko Widodo ketika itu juga sempat menyatakan kekecewaannya karena data dari Bank Dunia juga menyebut bahwa dari 33 perusahaan China yang memindahkan operasi ke luar negeri, 23 di antaranya memilih Vietnam sementara 10 lainnya pergi ke Malaysia, Thailand, serta Kamboja.

Sejumlah kajian mengungkapkan bahwa ada sejumlah faktor yang menjadi primadona relokasi perusahaan China, mulai dari faktor kemudahan usaha hingga adanya kedekatan kultur kedua negara.

Dampak ke ASEAN

Bagaimana dengan masa kepresidenan kedua Trump? Apakah dampak perang dagang terhadap kinerja perekonomian di negara-negara anggota ASEAN juga akan sama?

Kebijakan proteksionis Trump tampaknya akan lebih terasa mengingat bahwa AS saat ini mengambil alih China sebagai sasaran utama pasar ekspor Asia Tenggara.

Lembaga wadah pemikir nonpartisan dari AS, Council of Foreign Relations (CFR), mengingatkan bahwa sejumlah pemimpin di negara-negara ASEAN seperti Malaysia, Thailand, Kamboja--serta hingga tahap tertentu Indonesia-- telah menjadi lebih dekat dengan Beijing.

Menurut CFR, satu-satunya negara yang terang-terangan melawan China, hanyalah Filipina. Hubungan Filipina-China juga kerap memanas akibat konflik batas daerah di Laut China Selatan, yang juga menyinggung beberapa negara Asia Tenggara lainnya. Bila retorika dan penerapan kebijakan proteksionis Trump "menggila", maka juga dicemaskan adanya eskalasi konflik yang meluber tidak hanya di bidang ekonomi tetapi juga dalam bentuk lainnya yang akan menghantam kinerja perekonomian ASEAN.

Untuk itu, perlu adanya penguatan dan ketegasan langkah dan visi yang jelas dari Indonesia bersama-sama dengan negara Asia Tenggara lainnya guna mengantisipasi berbagai skenario yang berasal dari kebijakan "America First" milik Trump. Intinya, kekompakan yang lebih kokoh dan jelas diperlukan agar kawasan ASEAN tidak terseret lebih dalam bila perang dagang AS-China semakin berkobar.

Indonesia juga secara jelas perlu untuk memperkuat kinerja berbagai sektor perekonomian domestik, tetapi juga diharapkan tidak mempersiapkannya dengan terburu-buru. Pasalnya, bila sebuah produk kebijakan atau perundang-undangan disiapkan secara tergesa-gesa, akan dapat banyak kegoyahan dalam fondasinya, seperti yang dialami oleh bidang ketenagakerjaan dalam Omnibus Law, yang baru-baru ini dinyatakan tidak konstitusional oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Karenanya, langkah dialog yang mendalam dan tulus serta terbuka sangat esensial dalam menghasilkan kebijakan antisipatif yang efektif-efisien bagi keuntungan Republik Indonesia, terutama dalam menghadapi berbagai efek mengerikan yang dapat timbul dari perang dagang AS-China.

Editor: Achmad Zaenal M

Copyright © ANTARA 2024