Flores Timur (ANTARA) - Tak ada manusia yang ingin tinggal di pengungsian korban bencana alam. Namun, bila Tuhan memberikan dua pilihan antara mati atau hidup menjadi pengungsi, maka sepertinya menjadi pengungsi adalah pilihan kebanyakan orang untuk tetap hidup.

Amaran tersebut mungkin jatuh kepada warga Desa Pululera, Kecamatan Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur yang berada sekitar 7 kilometer di utara Gunung Lewotobi Laki-laki, yang kini sedang erupsi.

Kepala Desa Pululera, Paulus Sang Sony Tukan menyatakan bahwa desanya merupakan desa yang terbilang cukup menjanjikan dibandingkan dengan desa lainnya, di mana pendapatan per kapita warga desa tersebut bisa mencapai Rp3 juta per orang. Angka tersebut terbilang cukup mencolok, sebab, Upah Minimum Kabupaten (UMK) Kabupaten Flores Timur pada 2024  senilai Rp2.186.826.

Ia menyebut desanya memiliki berbagai komoditas unggulan seperti cokelat, vanili, hingga binatang ternak yang jumlahnya mencapai 50 persen dari jumlah seluruh ternak di Kabupaten Flores Timur.

"Warga di sini, kalau menonton televisi sudah banyak yang pakai televisi kabel," kata Paulus, mengungkapkan.

Klaim tersebut tidak bisa diamini secara langsung, namun juga tidak bisa dibantah secara mentah-mentah. Sebab secara penampilan, desa ini memang terlihat lebih kaya dibandingkan desa lainnya.

Perbedaan yang paling mencolok adalah adanya usaha binatu atau laundry, sebuah usaha yang tidak lazim untuk berada di suatu desa di kaki gunung, yang bahkan juga tidak kami temui di desa lainnya.

Sebelumnya, Gunung Lewotobi Laki-laki sempat tertidur selama 22 tahun lamanya. Selama itu pula, 94 persen warga Desa Pululera yang sehari-harinya berkebun dan beternak mengumpulkan pundi-pundinya, hingga menjadi desa yang makmur sebagaimana yang dikisahkan oleh Paulus.

Namun, berbagai kejayaan tersebut seolah sirna kala Gunung Lewotobi Laki-laki bangkit dari tidur panjangnya di penghujung 2023 yang lalu.

Fenomena erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki  memukul masyarakat cukup dalam. Sebab, tak lama setelah erupsi, hujan abu vulkanik yang turun di wilayah tersebut, sehingga dinilai mematikan mata pencaharian utama mereka.

Banyak tanaman komoditas, maupun tanaman yang digunakan sebagai pakan ternak mati akibat hujan abu vulkanik yang tak kunjung usai.
Gambaran suasana desa, usai hujan abu dan pasir vulkanik yang melanda wilayah Desa Pululera, Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, pada Jumat (8/11/2024). (ANTARA/Sean Filo Muhamad)


Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat setidaknya lebih dari 900 erupsi yang dialami oleh gunung yang dijuluki oleh masyarakat sebagai gunung suami ini hanya dalam periode 2024.

Hal ini merupakan hal yang tidak biasa. Sebab, PVMBG sebelumnya juga sudah menetapkan bahwa jarak aman dari erupsi Lewotobi Laki-laki adalah sejauh 7 kilometer, di mana desa ini berada pada lokasi tepat di luar zona bahaya yang ditetapkan.

Bahkan, Pos Pengamatan Gunung Api Lewotobi Laki-laki berdiri di wilayah terdepan sebelum memasuki desa ini. Secara tidak langsung, hal ini menandakan bahwa desa ini "aman" dari dampak erupsi Lewotobi.

Namun, sampainya muntahan abu vulkanik kala gunung api itu mengalami erupsi besar pada 3 November 2024 lalu ke wilayah perkampungan membuat masyarakat kebingungan. Wilayah yang selama ini dirasa aman, ternyata tidak lagi memberikan rasa aman. Para warga juga takut akan ketiadaan sumber pemasukan utamanya.


Upaya mitigasi bencana

Melihat fenomena ini, Paulus tak tinggal diam. Ia menginisiasi upaya mitigasi bencana secara mandiri agar masyarakat tak kebingungan dan larut dalam kesedihan.

"Tidak ada harta apapun yang seharga nyawa," kira-kira begitu ungkapan yang tepat untuk menggambarkan apa yang dilakukan oleh Paulus untuk mengajak sekitar 2.000 warganya dalam mengungsi.

Sedikit demi sedikit, masyarakat mulai mengetahui upaya mitigasi bencana yang harus dilakukan kala mendengar gemuruh dari Gunung Lewotobi Laki-laki.

"Kalau ada bencana, kita lari sama-sama ke utara," jelas Paulus sembari menyeruput kopi hitamnya.

Dalam upaya mempelajari mitigasi bencana, wilayah pemukiman Desa Pululera yang berbentuk relatif vertikal memudahkan masyarakat untuk memahami rute evakuasi. Hingga akhirnya, seluruh warga desa terbiasa untuk melakukan aktivitas berlari ke utara.

Kebiasaan tersebut menjadi hal yang menyelamatkan mereka dari malapetaka. Erupsi besar yang terjadi tak sampai memakan korban jiwa warga desa.

Erupsi yang disertai muntahan batu pijar berukuran rata-rata sekepal tangan orang dewasa tersebut berhasil dihindari oleh warga dengan sigap.

Pengalaman dihujani batu yang menyala di malam hari membuat para warga menjadi lebih takut lagi dari sekadar kehilangan mata pencahariannya.

Oleh sebab itu, masyarakat mulai membangun posko pengungsian secara swadaya di wilayah bukit, di tengah hutan dan kebun mete sejauh 3-4 kilometer di utara Desa Pululera.


Lewo Kakan Lewo Arin

Kini, masyarakat hidup dengan sangat sederhana di posko pengungsian mandiri itu. Posko pengungsian yang dibangun oleh masyarakat sejatinya bukanlah posko dengan bangunan permanen.

Posko pengungsian yang dibangun secara mandiri hanya berupa tenda-tenda sederhana beratapkan terpa. Posko ini dibangun secara terpisah di beberapa titik, dengan jumlah tenda yang berbeda-beda di setiap titiknya.


 
Suasana makan malam di posko pengungsian mandiri yang dibangun oleh warga Desa Pululera, Wulanggitang, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, pada Jumat (8/11/2024). (ANTARA/Sean Filo Muhamad)

Tidak kurang dari 40 tenda didirikan di lokasi pengungsian tersebut. Tak hanya membangun posko secara swadaya. Pasokan logistiknya pun mereka penuhi secara swadaya.

Namun demikian, seluruh masyarakat bisa hidup tenang di posko pengungsian. Sebab, masyarakat menanamkan apa yang menjadi tradisi mereka secara turun-temurun.

"Lewo Kakan, Lewo Arin. Kampung kakak, ya kampung adik. Artinya di sini kita harus sama-sama membantu," ungkap Paulus.

Suasana semangat untuk hidup dan menyelamatkan sesama terasa hangat, hingga mampu melupakan dinginnya udara perbukitan di kaki gunung yang relatif sejuk.

Meski hidup di tenda tanpa aliran listrik, masyarakat tetap bisa hidup berdampingan dengan guyub rukun, tanpa adanya perselisihan antara masing-masing tenda.

Budaya ketimuran yang kental akan kesukuan dan kemargaan tidak terlihat secara jelas kala mereka menempati tenda-tenda pengungsian.

Dalam satu titik lokasi kemah, tenda-tenda yang didirikan mampu menampung hingga 50 orang dari berbagai suku atau keluarga.

Hal ini terjadi karena prinsip Lewo Kakan Lewo Arin tidak hanya sekadar slogan, namun juga menjadi spirit yang diresapi dan diimplemantasikan di dalam kehidupan mereka.


Revisi peta batas aman PVMBG Badan Geologi Kementerian ESDM RI merekomendasikan kepada Badan Geologi untuk merevisi peta batas aman wilayah yang bisa digunakan oleh masyarakat di sekitar Gunung Lewotobi Laki-laki, sehingga masyarakat setempat tidak lagi perlu mengungsi setiap hari.

Upaya ini mendapat respons positif. Badan Geologi menetapkan radius zona bahaya menjadi 9 kilometer pada sektor barat daya-barat laut. Otomatis, hal ini juga berimbas kepada wilayah Desa Pululera.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) juga mewacanakan adanya relokasi tempat tinggal warga di sekitar Gunung Lewotobi Laki-Laki, di mana Desa Pululera akan ikut mengambil bagian.

Kepala BNPB Suharyanto juga memastikan para pengungsi korban erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki mempunyai hak tunggu hunian berupa bantuan dana stimulan yang akan diberikan pemerintah sebesar Rp500 ribu per bulan.

Terkait peta batas aman, Kepala Desa Pululera, Paulus Sang Sony Tukan, mengatakan bahwa belum lama ini sejumlah pihak dari instansi terkait mengajaknya untuk melakukan survei lokasi pemukiman baru warga desa.

Para warga direncanakan untuk direlokasi ke lokasi yang dikenal oleh masyarakat sebagai Tanawawe, hamparan tanah berupa padang rumput di lembah yang dinilai lebih indah, subur, juga memiliki sumber mata air berupa air terjun.

Tanggapan dari warga juga positif. Meskipun relatif lebih jauh, relokasi hunian ini dinilai sebagai berkah, karena selain mampu mengamankan mereka dari marabahaya, relokasi juga bisa menjadi harapan baru masyarakat untuk kembali hidup sejahtera.

Takdir memang tidak selalu manis, sebagaimana amaran Tuhan kepada warga Desa Pululera untuk hidup sementara di tenda pengungsian. Namun, di balik setiap hal yang buruk pasti akan ada hal baik yang juga bisa diambil.

Meskipun Tuhan memerintahkan hambanya untuk menjadi pengungsi dan hidup sederhana, tapi akan selalu ada cahaya di ujung lorong yang gelap, sebagaimana kata orang bijak.

Kesempatan untuk memulai hidup yang baru menjadi anugerah sekaligus hikmah yang diberikan kepada warga Desa Pululera, di balik setiap cobaan yang Tuhan berikan.

Editor: Slamet Hadi Purnomo
Copyright © ANTARA 2024