Jakarta (ANTARA) - Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih terjadi, dengan perempuan yang acap kali menjadi korban.
Masih mengakar-nya budaya patriarki dalam rumah tangga menjadi salah satu penyebabnya. Tidak hanya menyakiti perempuan secara fisik dan psikis, tindak kekerasan yang terjadi, bahkan sampai merenggut nyawa korban.
Beberapa contoh yang masih hangat dalam pemberitaan di media, seperti di Serdang Bedagai, Sumatera Utara, pembunuhan terhadap perempuan atau popular dengan istilah femisida dilakukan oleh suami korban. Diduga tindakan itu dilakukan pelaku karena motif cemburu lantaran korban masih berkomunikasi dengan mantan suami.
Femisida lainnya, yakni kasus penemuan mayat perempuan tanpa kepala di Jakarta Utara. Polda Metro Jaya mengungkap pelaku pembunuhan adalah teman dekat korban. Kepada penyidik, pelaku mengaku aksi keji-nya dilakukan lantaran korban sempat menghina istri dan ibunda pelaku.
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Ratna Susianawati menyampaikan keprihatinan mendalam atas kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan yang berujung femisida ini.
Kementerian itu telah berkoordinasi dengan aparat penegak hukum untuk segera menuntaskan kasus-kasus tersebut, serta memastikan para pelaku mendapatkan hukuman sesuai dengan peraturan perundang-undangan, sehingga kasus serupa yang potensial terjadi tidak terulang.
Kementerian PPPA melalui tim layanan Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 juga berkoordinasi dengan dinas PPPA daerah korban untuk memastikan penjangkauan terhadap keluarga korban dan pemenuhan hak-hak yang mesti dipenuhi, meskipun korban sudah meninggal.
Femisida
Secara umum, femisida dapat dimaknai sebagai tindakan kekerasan, khususnya pembunuhan yang dilakukan oleh laki-laki kepada perempuan. Istilah femisida sendiri masih kurang dikenal di masyarakat.
Bahkan, di ranah hukum, kasus-kasus pembunuhan terhadap perempuan ini ditangani dengan proses sebagai tindak pidana pada umumnya. Hal ini karena pembunuhan terhadap perempuan atau femisida hingga saat ini belum diatur sebagai tindak pidana khusus.
Hakim Agung Ainal Mardhiah mengakui bahwa kasus femisida ini masuk pada perkara tindak pidana pembunuhan, tindak pidana kekerasan, penganiayaan yang menyebabkan matinya orang.
Karena itu, ke depan, nanti bisa dipilah perkara-perkara yang seharusnya masuk dalam kategori femisida, dengan korban perempuan.
Femisida merupakan tindak pidana kekerasan berbasis gender paling ekstrem terhadap perempuan.
Anggota Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Rainy Hutabarat mengatakan dalam femisida, korban dibunuh karena korban seorang perempuan.
Komnas Perempuan mendefinisikan femisida sebagai pembunuhan terhadap perempuan yang dilakukan secara sengaja karena jenis kelamin atau gendernya. Tindakan itu terjadi karena maih adanya superioritas, dominasi, hegemoni, agresi, maupun misogini terhadap perempuan, serta rasa memiliki perempuan, ketimpangan relasi kuasa, dan kepuasan sadistik.
Motif
Temuan Komnas Perempuan, dalam konteks relasi personal, yakni relasi suami dan istri, mantan pacar atau mantan suami, motif pelaku melakukan tindakan femisida karena didasari rasa cemburu, sakit hati, balas dendam, alasan ekonomi, dan ketersinggungan yang muncul dari sifat makulin laki-laki.
Selain dalam relasi personal, femisida dapat terjadi dalam konteks relasi kerja atau bentuk relasi lainnya.
Pada rumah tangga, budaya patriarki sangat berpotensi terjadi kekerasan. Hal itu terjadi karena mengabaikan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), KDRT berulang atau KDRT berlapis.
Ketidaksetaraan gender merupakan faktor yang melandasi terjadinya femisida.
Dalam konteks rumah tangga dengan budaya patriarki yang kuat, kekerasan dalam rumah tangga perlu diwaspadai karena berpotensi menjadi "silent killer".
Bagi Komnas Perempuan, kondisi berbahaya dalam konflik relasi personal dengan kekerasan perlu dikenali sesegra mungkin untuk mencegah terjadinya femisida.
Karena itu, dukungan dari keluarga sangat dibutuhkan agar KDRT atau kekerasan dalam relasi personal tidak menjadi tindak femisida.
Keluarga dan lingkungan perlu mengenali kondisi bahaya itu ketika terjadi kekerasan dalam rumah tangga berulang dan harus menjadi pendukung terdekat bagi korban. Bahkan pengenalan itu, sebisa mungkin dikenali sejak masih potensial, sehingga tidak menjadi aktual.
UU PKDRT
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) mengamanatkan agar warga masyarakat yang menyaksikan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga harus melaporkan kasusnya kepada organisasi layanan atau ke pihak aparat penegak hukum terdekat.
UU itu, yang hakikatnya merupakan wujud hadirnya negara untuk melindungi warga, mengamanatkan bahwa korban berhak mendapat perlindungan, termasuk ketika pelaku pada taraf mengancam.
Para pemangku kepentingan perlu mengoptimalkan implementasi perlindungan korban, sebagaimana diamanatkan dalam UU PKDRT dan membatasi akses pelaku kepada korban untuk mencegah pelaku melakukan intimidasi, ancaman, atau memaksa korban mencabut laporannya.
Kesetaraan gender perlu disosialisasikan secara luas melalui pemerintahan desa dan melalui perangkat terkait, termasuk puskesmas dan posyandu.
Sosialisasi UU PKDRT diperlukan agar masyarakat mengenali bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan tindak pidana dan bukan urusan domestik yang tabu dibawa ke ranah publik.
Masyarakat juga perlu mengenali kondisi berbahaya pada kasus kekerasan dalam rumah tangga yang terjadi di lingkungannya. Saling peduli pada sesama di lingkungan tempat tinggal sangat membantu mencegah kekarasan yang menimpa perempuan terjadi.
Semua pihak harus saling melindungi dengan menunjukkan kepedulian. Kepedulian itu bisa ditunjukkan pada keluarga terdekat, tetangga, atau di lingkungan tempat tinggal.
Copyright © ANTARA 2024