Jakarta (ANTARA) - Direktur Direktorat Inovasi dan Science Techno Park (DISTP) Universitas Indonesia (UI) Ahmad Gamal memandang, perencanaan perkotaan (urban planning) perlu berkembang dengan mempertimbangkan aspek perubahan perilaku manusia seiring yang mengarah pada digitalisasi.

Menurutnya, penggunaan alat perencanaan kota seperti zonasi bisa lebih diminimalkan. Pembagian lahan berdasarkan jenis aktivitasnya seperti penempatan area kantor, tempat tinggal, dan komersial mungkin tidak lagi cocok di masa depan.

“Menurut saya, para perencana juga harus belajar dari sosiolog, antropolog, psikolog, dan epidemiolog tentang berbagai tren dalam bekerja, hidup, dan berekreasi,” kata Gamal dalam diskusi daring "IDE Webinar Series: Smart City and Digital Twin" di Jakarta, Jumat.

Di masa depan, kata dia, akan terjadi perubahan lanskap infrastruktur yang signifikan. Sebagai gambaran, era elektrifikasi nantinya akan menghadirkan lebih banyak fasilitas pengisian daya mobil listrik yang tersedia di area parkir. Panel surya juga akan banyak terpasang di banyak lokasi hingga di area pinggiran kota.

Cara hidup masyarakat perkotaan juga akan berubah dengan cepat. Masyarakat urban akan lebih banyak tinggal di hunian vertikal dan bukan lagi di hunian tapak. Pekerjaan masyarakat urban juga akan lebih fleksibel, bahkan beberapa di antaranya bisa melakukan beberapa pekerjaan sekaligus dan tidak terikat pada pekerjaan penuh waktu.

Melihat hal itu, Gamal memandang perlunya para perencana perkotaan untuk mempromosikan penggunaan konsep berbagi ruang hidup karena orang-orang akan lebih banyak bekerja dari rumah sehingga ruang rekreasi atau ruang bersantai mereka harus lebih dekat dengan area pemukiman.

Baca juga: ATR/BPN: Perencanaan ruang dan pertanahan IKN disiapkan dengan detail

Belajar dari momen pandemi, ia mengingatkan bahwa perencana juga harus dapat menghindari perencanaan tata ruang yang membuat masyarakat urban menjadi terjebak dalam ruang yang sangat kecil dalam waktu lama.

Dalam menghadapi tantangan global yang mengarah pada digitalisasi, menurutnya penting bagi pengajar di bidang perencanaan wilayah dan kota untuk mengajarkan kepada mahasiswa tentang analisis perkotaan yang berbasis pada data, khususnya data geospasial. Dengan begitu, calon perencana mampu melakukan analisis dan menyajikan informasi secara lebih detail.

Ia mencontohkan pengembangan Smart Land Surveillance System (SLSS) oleh Smart City Universitas Indonesia (SCUI) yang memanfaatkan big data. Sistem penginderaan jarak jauh (LiDAR/Light Detection and Ranging) diintegrasikan dengan data-data perizinan yang bersumber dari pemerintah. Menurutnya, pengembangan SLSS merupakan contoh yang baik tentang bagaimana pengintegrasian big data dan sistem informasi ke dalam perencanaan perkotaan dan analisis perkotaan.

Dengan sistem yang terintegrasi tersebut, visualisasi kawasan kota yang dapat dilihat dalam bentuk tiga dimensi itu mampu mendeteksi pelanggaran pembangunan serta memperkirakan tingkat pelanggaran terhadap pembangunan properti di atas suatu lahan. Selain itu, SLSS juga dapat menganalisis pertumbuhan perkotaan, termasuk melihat apakah pertumbuhan perkotaan telah melampaui daya dukung kota.

“Dengan melihat apa yang sebenarnya telah dibangun di sana dan apa yang sebenarnya telah dicatat, kita benar-benar dapat mengevaluasi apakah bangunan tertentu itu misalnya telah melakukan sesuatu yang bertentangan dengan apa yang telah diizinkan atau apa yang telah direncanakan di area tertentu itu,” kata Gamal.

Baca juga: Menteri PPN : Tahap 2 IKN siap untuk penyelenggaraan pemerintahan

Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2024