Jakarta (ANTARA) -
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Mahfudz Abdurrahman menyatakan pihaknya serius dalam memperjuangkan kenaikan gaji dosen di Indonesia untuk memastikan kesejahteraan mereka.
 
“Komisi X DPR RI akan ikut membahas dan juga tentu memberikan masukan atas rencana solusi masalah kesejahteraan dosen. Kami di Komisi X sangat serius atas hal ini," kata Mahfudz di Jakarta, Jumat.
 
Ia menyampaikan bahwa Komisi X memberikan perhatian yang besar terhadap persoalan penghasilan yang diterima para dosen berstatus ASN ataupun swasta yang terbilang belum layak. Komisi X pun meminta Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) agar mencari solusi nyata dengan segera.
 
“Penghasilannya sekitar 3 jutaan rupiah per bulan, bahkan ada yang di bawah 3 juta rupiah dengan beban tugas kerja dan laporan yang sangat banyak. Selain itu, juga tuntutan terhadap persoalan tunjangan kinerja yang berhenti sejak tahun 2020, ini harus disegerakan supaya jelas. Kami berharap agar Menteri Satryo dan jajarannya menjadikan persoalan kesejahteraan dosen termasuk hal yang prioritas," kata dia.
 
Mahfudz menekankan kesejahteraan dosen sudah seharusnya diperjuangkan karena menyangkut hajat hidup orang banyak.

Baca juga: Mendiktisaintek siap perjuangkan kenaikan gaji dosen
 
Sebelumnya, Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek) Satryo Soemantri Brodjonegoro telah menyampaikan siap untuk memperjuangkan kenaikan gaji bagi dosen, baik ASN maupun swasta, dengan bantuan dari Komisi X DPR RI.
 
"Untuk kenaikan gaji dosen, kami juga akan membuat skenario bahwasanya kalau gaji dosen ASN dinaikkan, swasta tidak, itu juga akan menimbulkan permasalahan baru. Oleh karena itu, dengan bantuan dari Komisi X memperjuangkan anggaran yang dibutuhkan untuk menaikkan gaji dosen, baik ASN maupun swasta," kata Satryo.
 
Hal tersebut dia sampaikan dalam Rapat Kerja bersama Komisi X DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (6/11). Meskipun bukan merupakan hal yang mudah, Satryo menyampaikan bahwa pihaknya akan berusaha agar kenaikan gaji dosen tidak hanya berlaku bagi mereka yang berstatus ASN, tetapi juga dosen dari perguruan tinggi swasta.
 
"Mendanai program-program oleh swasta itu tidak mudah, tetapi bisa dilaksanakan dengan sebaik-baiknya," ujar dia.
 
Upaya untuk menaikkan gaji dosen itu juga merupakan tanggapan dari Satryo atas tuntutan dari Serikat Pekerja Kampus (SPK) yang disampaikan oleh Komisi X DPR RI. Pada Selasa (5/11) dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi X, SPK meminta pemerintah mengupayakan dosen-dosen di Indonesia memperoleh upah yang layak, yakni minimal Rp10 juta per bulan.

Baca juga: Komisi X dorong pemerintah evaluasi kebijakan soal kesejahteraan dosen
 
"Tuntutan kami, tentu saja kami berharap, berikan upah yang layak. Take home pay minimal Rp10 juta. Kenapa Rp10 juta? Karena di kementerian pun, mohon maaf Kementerian Keuangan di bawah S-1 pun mereka take home pay Rp10 juta," kata Ketua SPK Dhia Al Uyun.
 
Apabila tidak memungkinkan Rp10 juta per bulan, kata Dhia, SPK menilai standar gaji yang layak bagi dosen adalah minimum sebesar 3 kali UMR di suatu daerah.
 
Dhia yang merupakan dosen Universitas Brawijaya itu menyampaikan bahwa SPK telah melakukan riset dan menemukan bahwa 61 persen dari 1.200 dosen mendapatkan gaji bersih (take home pay) di bawah Rp3 juta.
 
"Kami sudah ada riset, 1.200 dosen itu di bawah Rp3 juta untuk jenjang pendidikan S-2, dosen minimal S-2, jadi setara upah satpam bank. Kemudian, dosen PTS lebih tragis lagi karena mereka di bawah Rp2 juta, lebih rendah dari tukang bangunan, padahal mereka juga S-2," ucap dia.
 
Ia menyampaikan bahwa 61 persen dari 1.200 dosen yang mengikuti riset SPK menyatakan beban kerja mereka tidak sebanding dengan kompensasi yang didapatkan. Sekitar 76 persen di antaranya mengaku bekerja sampingan demi memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Baca juga: SPK minta dosen diberikan upah yang layak minimal Rp10 juta
 
"Jadi, dosen-dosen di Indonesia kayanya karena kerja sampingan, bukan karena profesi sebagai dosen," kata dia.

Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: Bambang Sutopo Hadi
Copyright © ANTARA 2024