Jakarta, (ANTARA News) - Menteri Negara Lingkungan Hidup (Menneg LH), Rachmat Witoelar, mengatakan ratifikasi Perjanjian Kerjasama ASEAN dalam hal Penanganan Polusi Asap akan menguntungkan Indonesia, selain mempercepat upaya penghentian "eskpor" asap ke beberapa negara tetangga.
"Ratifikasi adalah sesuatu yang penting, karena akan menjadikan usaha-usaha penanggulangan masalah kebakaran hutan yang menimbulkan kabut asap itu tertangani dalam satu paket lengkap, bukan lagi `eceran` seperti sekarang ini," kata Menneg LH kepada pers di Jakarta, Senin (16/10).
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa ratifikasi perjanjian antar-negara ASEAN soal kabut asap juga akan menjadi "payung" kerjasama yang sangat menguntungkan Indonesia.
Dalam salah satu pasal kesepakatan itu tercantum pembentukan sekretariat khusus ASEAN yang mengurus kebakaran hutan, dan sudah diniatkan oleh negara-negara ASEAN sekretariat itu bakal dilakukan Indonesia, kata Rachmat.
"Sekretariat akan berada di negara yang paling banyak mengalami kebakaran hutan, yaa ... itu berarti Indonesia. Bila menjadi sekretariat, tentu saja Indonesia akan menerima banyak bantuan dari negara-negara tetangga," tambahnya.
Jika Indonesia meminta bantuan kepada negara lain, masih kata dia, maka negara yang diminta itu wajib memberikan bantuan yang dimaksud.
Rachmat dalam kesempatan itu menekankan bahwa konsep penyaluran bantuan dari negara-negara ASEAN itu adalah lewat pemerintah pusat ke daerah-daerah yang hutannya terbakar, "Pemerintah pusat mencarikan dana dan bantuan dari luar negeri, untuk kemudian disalurkan ke daerah."
Kembali ke upaya ratifikasi perjanjian penanggulangan asap, Rachmat mengingatkan persiapan kerjasama ini sudah lama dilakukan, mulai pada tahun 1997 ketika Prof. Emil Salim menjabat sebagai Menneg LH.
"Hingga kini proses ratifikasi itu belum juga rampung di DPR. Tertundanya ratifikasi juga diakibatkan oleh perubahan proses legislalasi, kalau dulu ratifikasi perjanjian internasional hanya perlu persetujuan Komisi I, kini diedarkan ke semua komisi," ujarnya.
Rachmat sendiri merasa heran mengapa parlemen Indonesia sangat lamban mengesahkan perjanjian internasional tentang asap ini, sementara Protokol Kyoto dan Traktat Internasional tentang Atom bisa rampung proses hukumnya di parlemen hanya dalam waktu satu hari.
"Padahal Protokol Kyoto dan Traktat Internasional soal Atom ada pasal-pasal sanksinya, sementara perjanjian soal penanganan asap ini tidak ada," kata dia.
"Saya berharap definisi DPR tentang waktu yang tidak ditentukan soal proses ratifikasi itu adalah waktu yang cepat, karena bila tidak cepat diratifikasi maka akan hilang kesempatan kita untuk mendapat bantuan dari negara-negara lain mengatasi masalah kebakaran hutan," demikian Rachmat Witoelar.(*)
Copyright © ANTARA 2006