Goresan tinta emas ini harus dijaga, dirawat, dan ditumbuhkembangkanJakarta (ANTARA) - Hari Minggu, 20 Oktober 2024, menjadi hari bersejarah bagi Indonesia di mana pada hari itu, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
Pasangan pemimpin negara itu membawa delapan misi dalam program pemerintahannya yang bernama Astacita yang mana salah satu misinya adalah memperkuat reformasi politik hukum dan birokrasi serta memperkuat pencegahan dan pemberantasan korupsi serta narkoba.
Amanat itu dipegang erat oleh Kejaksaan Agung (Kejagung), utamanya bagi sang pemimpin, Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin, yang kembali dipercaya untuk menduduki posisi paling tinggi di Kejaksaan dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Jaksa Agung mengatakan, “Kejaksaan memiliki komitmen tinggi untuk menjalankan misi ini dengan mengedepankan profesionalitas dan integritas dalam penegakan hukum, terutama dalam upaya pemberantasan korupsi,”.
Hal itu tercermin pula dalam Peta Jalan (Roadmap) 2025–2029 Kejaksaan RI yang berfokus pada misi pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Berselang tiga hari kemudian, tepatnya tanggal 23 Oktober 2024, menjadi hari yang menggemparkan bagi awak media yang berjaga untuk meliput berita Kejagung pada saat itu; nama Gregorius Ronald Tannur, terdakwa kasus pembunuhan terhadap kekasihnya, Dini Sera Afrianti, kembali muncul ke permukaan.
Namanya muncul usai Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung menetapkan tiga hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang menjatuhkan vonis bebas kepada Ronald Tannur, yakni ED (Erintuah Damanik), HH (Heru Hanindyo), dan M (Mangapul), sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi berupa suap dan/atau gratifikasi terkait dengan vonis bebas Ronald Tannur.
Masih lekat dalam ingatan publik bahwa vonis bebas itu dijatuhkan pada Juli 2024. Pada saat itu, Ronald Tannur ketika mendengar vonis tersebut pun langsung menangis dan menyebut bahwa putusan hakim itu dianggapnya sudah cukup adil.
Sementara itu, kuasa hukum Ronald Tannur, Lisa Rahmat hanya menyatakan rasa syukurnya atas putusan itu. Ironisnya kemudian, Lisa Rahmat yang menjadi kuasa hukum, malah terlibat dalam perkara suap tiga hakim tersebut untuk memuluskan vonis bebas kliennya.
Vonis terlalu aneh
Vonis terlalu aneh
Menilik kembali kasus penganiayaan berat yang menjerat Ronald, perkara ini memang terlalu aneh apabila vonis bebas dijatuhkan. Peristiwa itu terjadi pada bulan Oktober 2023 di suatu tempat karaoke di Surabaya, Jawa Timur.
Polrestabes Surabaya yang menangani kasus tersebut menyatakan bahwa Ronald menganiaya Dini sejak keluar dari area karaoke, seperti di lift hingga parkiran mobil. Dalam salah satu bagian di reka adegan, Ronald memperagakan bagaimana ketika ia melindas tubuh Dini dengan mobil miliknya di basemen gedung karaoke.
Kasus ini kemudian berlanjut ke meja hijau. Jaksa penuntut umum (JPU) menuntut Ronald selama 12 tahun penjara karena dianggap terbukti dalam dakwaan pertama, yakni pasal 338 KUHP tentang pembunuhan.
Akan tetapi, pada 24 Juli 2024, Majelis Hakim PN Surabaya, Jawa Timur, memutus bebas Ronald Tannur dari dakwaan pembunuhan terhadap korban Dini.
Ketua Majelis Hakim Erintuah Damanik menyatakan, Ronald dianggap tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan pembunuhan maupun penganiayaan yang menyebabkan tewasnya korban.
Hakim juga menganggap terdakwa masih ada upaya melakukan pertolongan terhadap korban di saat masa-masa kritis yang dibuktikan dengan upaya terdakwa membawa korban ke rumah sakit untuk mendapatkan pertolongan.
Bahkan, Majelis Hakim juga menilai penyebab kematian korban karena banyak mengonsumsi minuman beralkohol, bukan akibat penganiayaan berat seperti yang tertuang dalam dakwaan jaksa.
Pertimbangan vonis tersebut memunculkan reaksi banyak pihak, salah satunya Guru Besar Hukum Pidana Universitas Airlangga (Unair) Surabaya Prof Nur Basuki Minarno yang menyebut putusan tersebut tidak berdasarkan hukum itu karena ada bukti-bukti dalam persidangan yang disuguhkan oleh JPU telah dikesampingkan majelis hakim.
Di sisi lain, penyidik Jampidsus Kejagung turut mencium adanya ketidakberesan dari putusan vonis bebas tersebut.
Penyidik menemukan adanya indikasi yang kuat bahwa pembebasan Ronald tersebut karena ketiga hakim tersebut menerima suap atau gratifikasi.
Dari hasil penggeledahan di enam lokasi yang merupakan properti milik oknum tiga hakim dan Lisa Rahmat, penyidik menyita uang tunai dari berbagai mata uang asing yang bernilai miliaran rupiah.
Meski tiga hakim yang bermain langsung sudah dijadikan tersangka, penyidik Kejagung tidak lantas hanya berdiam diri. Mereka terus menjahit berbagai hubungan untuk mendapatkan simpul soal asal-muasal uang miliaran yang dimiliki oleh pengacara Ronald Tannur untuk menyuap para hakim.
Dalam jarak beberapa hari dari penetapan tiga hakim sebagai tersangka, penyidik mengungkap sosok Zarof Ricar, mantan Kepala Balitbang Diklat Kumdil Mahkamah Agung, yang diduga menerima suap dari Lisa dengan rencana untuk memuluskan vonis kasasi Ronald Tannur. Zarof pun dijerat dengan perkara dugaan pemufakatan jahat untuk suap atau gratifikasi.
Selang beberapa hari kemudian pula, penyidikan pun bermuara pada keluarga Ronald Tannur yang diindikasikan memiliki keterkaitan erat dalam kasus gratifikasi itu. Ibunda dari Ronald yang bernama Meirizka Widjaja (MW) ditetapkan sebagai tersangka suap untuk vonis bebas putranya di PN Surabaya.
Ayah Ronald, yakni Edward Tannur yang merupakan anggota DPR nonaktif, dan adik Ronald yang bernama Christopher Raymond Tannur juga turut diperiksa oleh penyidik.
Dengan demikian, hingga artikel ini ditulis, total ada enam tersangka yang telah ditetapkan dalam perkara yang berkaitan dengan upaya memuluskan perkara Ronald Tannur. Sampai dengan saat ini, penyidik terus menelusuri pihak-pihak yang diduga terkait dengan perbuatan melawan hukum ini.
Tekad berantas korupsi
Gerak cepat Kejagung dalam pengungkapan dugaan adanya 'hanky panky' di balik vonis bebas Ronald Tannur ini seolah menjadi angin segar bagi masyarakat yang mengharapkan adanya keadilan terhadap korban Dini Sera.
Terlebih, bagi keluarga korban yang semenjak vonis bebas tersebut dijatuhkan, berkeliling meminta bantuan kepada sejumlah instansi dan berbicara di hadapan media demi mencari keadilan untuk almarhumah Dini Sera.
Terungkapnya dugaan perbuatan gratifikasi para tiga hakim ini juga menjadi suatu terobosan awal dalam upaya berlanjut dalam rangka merawat badan peradilan di Indonesia dari korupsi, utamanya gratifikasi.
Usai putusan bebas Ronald Tannur dijatuhkan, sentimen negatif terhadap hakim terus mengalir dari masyarakat.
Di antaranya adalah ratusan orang yang tergabung dalam kelompok masyarakat Aliansi Madura. Ketika berunjuk rasa di Jalan Arjuno, Surabaya, usai putusan bebas dijatuhkan, mereka mempertanyakan kepercayaan mereka terhadap penegakan hukum.
Sang kordinator aksi berteriak, "Mencuri ayam saja bisa dipenjara empat tahun, apalagi menghilangkan nyawa seseorang".
Banyak yang ragu bahwa apabila nantinya mereka dijerat suatu kasus, aparat penegak hukum di Indonesia tidak mau membantu mencari keadilan. Apalagi, sudah ada beberapa kasus di mana putusan yang dijatuhkan sangat jauh dari rasa keadilan dan rasa keadilan.
Kepercayaan itu pun harus ditumbuhkan lagi. Adanya pengungkapan kasus dugaan gratifikasi para hakim ini pun dapat menjadi momen berbenah diri bagi instansi penegak hukum agar lebih tegas dalam menindak hakim-hakim nakal yang suka bermain di belakang.
Pengamat hukum dan politik Pieter Zulkifli mengatakan bahwa peningkatan kinerja yang positif oleh Kejagung harus konsisten sehingga kepercayaan masyarakat bisa makin meningkat.
Kemampuan mencium kasus yang berbau suap dan rekayasa baik di lingkungan pengadilan, kejaksaan dan kepolisian harus melekat dalam setiap insan penegakan hukum sehingga proses setiap aduan masyarakat bisa memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Jaksa Agung ST Burhanuddin pada perayaan Hari Bakti Adhyaksa 2024, Juli 2024 menyampaikan bahwa lima tahun perjalanan Kejaksaan belakangan ini telah melukiskan grafik eksponensial menanjak yang menunjukkan tren sangat positif.
Burhanuddin mengklaim bahwa Kejaksaan mampu mencetak sejarah dengan menjadi lembaga penegak hukum paling dipercaya oleh publik sehingga berpesan kepada insan Adhyaksa, "Goresan tinta emas ini harus dijaga, dirawat, dan ditumbuhkembangkan."
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2024