Jakarta (ANTARA) - Data merupakan komponen krusial dalam demokrasi modern. Akan tetapi ketika disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab, data bisa menjadi bumerang yang menghancurkan. Di tengah tantangan demokrasi yang dihadapi di berbagai negara, Pemerintah harus berinvestasi dalam infrastruktur data yang kuat untuk memastikan bahwa kebenaran tetap terjaga.
Terdapat paradoks terhadapnya. Data yang seharusnya menjadi kekuatan dalam demokrasi modern, bisa berbalik menjadi ancaman saat disalahgunakan untuk menyebarkan informasi yang menyesatkan dan merongrong institusi demokratis. Meskipun ancaman ini sangat terasa besar menjelang pemilihan umum, penanganannya memerlukan komitmen yang teguh terhadap kebenaran yang melampaui kampanye pemilu.
Data memainkan peran penting dalam membangun kepercayaan publik terhadap lembaga politik. Kontrak sosial antara pemerintah demokratis dan warganya bergantung pada pemahaman yang sama tentang siapa saja yang termasuk dalam kategori warga negara.
Alat seperti sensus dan peta sangat penting dalam proses ini, mencerminkan sejauh mana pemerintah mengenali masyarakat yang seharusnya mereka layani. Transisi Afrika Selatan dari apartheid menuju demokrasi menjadi contoh yang jelas.
Setelah puluhan tahun mengalami pengucilan dan penindasan, membangun masyarakat demokratis memerlukan informasi yang dapat diandalkan. Dalam hal ini, sensus 1996 yang pertama kali dilakukan di bawah pemerintahan demokratis menandai perubahan signifikan yaitu terdapat upaya nyata untuk menghitung seluruh populasi. Sensus sebelumnya, yang dirancang oleh rezim apartheid, fokus pada warga kulit putih dan secara signifikan mengabaikan mayoritas kulit hitam serta kelompok ras lainnya.
Dalam konteks Indonesia, di mana isu-isu sosial dan demografis sering kali dipolitisasi, pemahaman yang jelas tentang siapa yang dianggap sebagai warga negara dan bagaimana memperlakukan nonwarga negara menjadi penting.
Copyright © ANTARA 2024